JAKARTA, INSERTRAKYAT.com – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung RI, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui empat perkara diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) dalam ekspose virtual, Senin 4 Agustus 2025. Pernyataan ini disampaikan secara resmi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna di Jakarta.
Salah satu perkara yang disetujui yaitu dugaan penganiayaan oleh Ani Mariana Nufeto alias Arni yang ditangani Kejari Timor Tengah Utara, NTT. Ia disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP, setelah pada 3 Mei 2025 mencekik dan memukul leher Yashinta Olin alias Ibu Sinta di halaman SDN Kecil Uimoni, Kecamatan Noemuti. Korban mengalami luka memar sesuai visum RSUD Kefamenanu oleh dr. Dewi Astuti Hasibuan.
Pada 28 Juli 2025, korban memaafkan tersangka tanpa syarat. Tersangka mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum, dan berjanji tidak mengulangi. Kepala Kejari TTU Firman Setiawan bersama Jaksa Fasilitator Aditya Wahyu Wiratama mengusulkan penyelesaian melalui restorative justice. Permohonan diteruskan oleh Kajati NTT Zet Tadung Allo dan disetujui JAM-Pidum setelah memenuhi syarat formil dan materil.
Tiga perkara lain yang juga dihentikan penuntutannya berdasarkan RJ yaitu: (1) Alan Juliansyah bin Jalaludin dari Kejari Bengkulu Tengah (penganiayaan dan pengancaman, Pasal 351 dan 335 KUHP); (2) Suharto alias Agus dari Kejari Musi Banyuasin (penadahan, Pasal 480 KUHP); dan (3) Thomas Prayudha dari Kejari Muara Enim (pencurian dengan pemberatan, Pasal 363 KUHP).
Alasan penghentian penuntutan meliputi: tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, adanya perdamaian sukarela tanpa tekanan, ancaman pidana maksimal lima tahun, serta pertimbangan sosiologis. Semua tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan maaf, serta menyepakati tidak membawa perkara ke pengadilan.
JAM-Pidum meminta Kepala Kejari segera menerbitkan SKP2 berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 dan SE JAM-Pidum No. 01/E/EJP/02/2022. Ditekankan bahwa penghentian penuntutan berbasis keadilan restoratif merupakan bentuk kepastian hukum yang humanis dan berkeadilan. Penerapan mekanisme RJ terus didorong demi penyelesaian hukum yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Laporan: Mift|Editor: Bahtiar