Kendari, Insertrakyat.com – Kasus dugaan korupsi pengadaan kapal mewah Azimut 43 Atlantis 56 di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menyeret pejabat dan kontraktor ke jeruji besi. Kapal itu dibeli pemerintah pada era Ali Mazi Gubernur Sultra. Ia dikabarkan tidak termasuk dalam bagian pihak yang ditetapkan tersangka.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra menetapkan AS, mantan Kepala Biro Umum Setda Sultra sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta AR, Direktur CV Wahana, sebagai tersangka.

Keduanya diduga kuat berperan dalam pengadaan kapal mewah yang ternyata bekas pakai buatan Italia tahun 2016. Fakta ini menyalahi aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mewajibkan barang baru, sesuai spesifikasi, dan memiliki legalitas penuh.

“Pengadaan kapal itu bersumber dari APBD Sultra Tahun Anggaran 2020 dengan pagu Rp12,18 miliar,” ungkap Kapolda Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko, pada kegiatan Konferensi pers, Jum’at, (12/9/2025).

Hasil tender menetapkan CV Wahana sebagai pemenang dengan kontrak senilai Rp9,98 miliar.

Namun, berdasarkan penelusuran penyidik, pada 23 Juli 2020 dilakukan pembayaran sebesar Rp8,93 miliar kepada perusahaan tersebut.

Baca Juga :  Komando:  KPK - Polda Sultra Ungkap Korupsi Kapal Azimut, Periksa Eks Gubernur 

Dana yang seharusnya digunakan untuk membeli kapal baru, justru dipakai membeli kapal bekas berbendera Singapura.

Kapal Azimut 43 Atlantis 56, yang menjadi objek perkara, kini diamankan penyidik sebagai barang bukti utama.

Selain itu, berbagai dokumen tender, kontrak kerja, rekening koran CV Wahana, serta bukti transfer dana juga telah disita.

Penyidik menegaskan, barang bukti ini memperkuat dugaan adanya manipulasi proses pengadaan.

Dari total Rp8,93 miliar yang dicairkan, penyidik menemukan rincian aliran dana mencurigakan.

Sekitar Rp8,05 miliar digunakan untuk membeli kapal bekas.

Lalu, Rp100 juta diterima AR sebagai fee peminjaman perusahaan, sementara Rp780 juta diterima Idris, S.H. yang disebut sebagai pihak penghubung.

“Sejauh ini, polisi masih mendalami apakah ada pihak lain yang turut menerima aliran dana,” kata Kapolda Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra telah melakukan audit.

Hasilnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp8,05 miliar.

Kapal yang dibeli dinyatakan tidak memiliki manfaat karena berstatus impor sementara, sehingga sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.

Artinya, kerugian negara bersifat total lost

Baca Juga :  Jaringan Narkoba Asal Bone dan Internasional Diringkus : 11,3 Kg Sabu Dimusnahkan Polda Sultra

AS dan AR disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Keduanya juga dijerat Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang turut serta melakukan tindak pidana.

Ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, dengan denda paling banyak Rp1 miliar.

Kapolda Sultra menegaskan, penahanan dua tersangka bukanlah akhir.

“Penyidikan ini masih berjalan. Kami mendalami aliran dana dan keterlibatan pihak lain,” ujarnya.

Sejauh ini, 21 saksi telah diperiksa, termasuk pejabat Pemprov, pihak swasta, serta staf yang terlibat dalam proyek.

Selain itu, 5 ahli di bidang pengadaan, perdagangan, keuangan negara, hukum pidana, dan auditor BPKP juga dimintai keterangan.

Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik Sultra.

Bagaimana mungkin sebuah proyek bernilai hampir Rp10 miliar menghasilkan kapal bekas yang tidak dapat dimanfaatkan.

Padahal Azimut 43 Atlantis 56 bukan kapal biasa.

Kapal ini dikenal sebagai yacht mewah kelas internasional, sering dipakai kalangan elit untuk rekreasi laut.

Baca Juga :  Sekilas Tentang Kapolri dan Penyelidikan Polresta Kendari Terkait Indikasi BBM Oplosan di Sultra

Pengadaan kapal seperti ini dianggap janggal, mengingat kebutuhan utama Pemprov adalah kapal dinas untuk patroli atau transportasi kepulauan, bukan yacht mewah.

Hal ini menimbulkan kritik keras dari aktivis anti korupsi di Sultra sejak kurang lebih 5 tahun terakhir.

Mereka menilai proyek ini lebih mengutamakan gaya hidup mewah ketimbang kebutuhan rakyat.

Sementara, dari dokumen yang diperoleh penyidik, proses tender kapal sempat menuai kejanggalan.

CV Wahana yang ditunjuk sebagai pemenang, diduga hanya sebagai perusahaan pinjaman.

Indikasi itu diperkuat dengan adanya fee Rp100 juta untuk peminjaman bendera perusahaan.

Praktik seperti ini sering terjadi dalam proyek pemerintah, di mana perusahaan kecil hanya dijadikan kendaraan formal untuk meloloskan tender, sementara pelaksana sebenarnya adalah pihak lain.

Masyarakat Sultra kini menunggu langkah lanjutan penyidik.

Apakah kasus ini akan membuka keterlibatan pejabat lain yang lebih tinggi. Ataukah berhenti pada dua tersangka sebagai kambing hitam?.

Kendati demikian, Kapolda Sultra menegaskan, setiap perkembangan akan diumumkan secara transparan.

“Proses hukum harus dijalankan sesuai aturan. Tidak ada yang kebal hukum,” tegasnya.

(Rsl/AS).

TERBARU

PILIHAN