HUKUM adalah alat negara untuk menciptakan keadilan. Namun, sejarah membuktikan bahwa tidak semua hukum membawa keadilan. Pertanyaan “Apakah hukum selalu adil?” adalah pertanyaan mendasar, sekaligus ujian terhadap nurani hukum itu sendiri.

Etika normatif menjadi cermin untuk menguji apakah hukum masih berjalan dalam rel moral, atau telah menyimpang dari tujuan kemanusiaannya. Etika tidak hanya menilai apa yang ada, tetapi mempertanyakan apa yang seharusnya.

Hukum dapat sah secara formal, tetapi belum tentu adil secara substansial. Sejarah mencatat keberadaan hukum yang mendukung perbudakan, diskriminasi rasial, atau ketimpangan gender. Etika normatif mempersoalkan: apakah norma yang dijalankan memang pantas secara moral?

Jika hukum dijalankan tanpa mempertimbangkan martabat manusia, maka ia kehilangan legitimasinya. Di sinilah pendekatan etik menjadi penting untuk menyaring, menimbang, dan memperbaiki.

BACA JUGA :  Dugaan Perampokan Agen BRI Link di Sinjai Timur: Pelaku Belum Tertangkap, Kapolres Sinjai Beri Penjelasan

Deontologi (Kewajiban Moral), menilai keadilan berdasarkan prinsip moral yang melekat. Keadilan bukan soal akibat, melainkan niat dan prinsip. Hukum yang memaksakan kebijakan tanpa mempertimbangkan martabat manusia bertentangan dengan pendekatan ini.

Utilitarianisme (Manfaat Terbesar), menimbang apakah hukum membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Namun pendekatan ini menyimpan risiko jika mengabaikan hak-hak minoritas. Mayoritas tidak selalu benar.

Etika Kebajikan (Virtue Ethics), mengukur sejauh mana hukum mendidik masyarakat hidup dengan nilai luhur. Hukum tidak hanya mencegah pelanggaran, tetapi membentuk karakter: jujur, bertanggung jawab, dan berbelas kasih.

Sering kali, hukum ditegakkan secara prosedural namun mengabaikan rasa keadilan. Contohnya, korban kekerasan yang tidak dilindungi karena syarat formal belum terpenuhi. Dalam kasus seperti ini, hukum berjalan tetapi keadilan tertinggal.

Sebaliknya, hukum yang adil melampaui teks. Ia membaca konteks, mendengar suara yang lemah, dan hadir dengan solusi yang memanusiakan. Hakim yang mempertimbangkan aspek keadilan sosial dalam putusannya adalah wajah hukum yang hidup dalam nurani masyarakat.

BACA JUGA :  Satreskrim Polres Aceh Selatan Amankan Pelaku Pungli terhadap Sopir Truk di Tapaktuan

Dalam perspektif spiritual, keadilan adalah bagian dari sifat Tuhan. Hukum yang adil adalah hukum yang menentramkan, bukan sekadar menakutkan. Ia tidak hanya mengatur, tetapi membimbing. Ia tidak hanya menghukum, tetapi menyembuhkan luka sosial.

Hukum yang hanya menjadi alat kuasa berpotensi merusak. Etika normatif hadir sebagai jangkar agar hukum tetap berpijak pada nilai. Di tengah kepentingan dan kekuasaan yang sering berbenturan, etika adalah suara hati yang membisikkan batas.

Benarkah tudak semua hukum benar. Dan ketika hukum keliru, ia harus dikritisi. Evaluasi etik terhadap proses hukum menjadi syarat agar sistem tetap dinamis dan responsif terhadap keadilan. Reformasi hukum adalah tugas moral yang tak pernah selesai.

BACA JUGA :  Integritas dan Keadilan Masih Ada di Indonesia - Berita Kejaksaan Agung

Keberanian mengakui kekeliruan bukan bentuk kelemahan, tapi etika luhur. Di situlah hukum menunjukkan dirinya bukan berhala, tetapi alat menuju kebaikan bersama.

Etika normatif mengingatkan bahwa keadilan tidak dapat ditentukan hanya lewat pasal-pasal. Hukum perlu diuji oleh nurani, oleh nilai-nilai universal, oleh akal sehat dan iman. Keadilan adalah pertanyaan kemanusiaan, bukan sekadar ketundukan terhadap teks.

Di ruang sidang, di balik palu hakim, selalu ada peluang agar hukum menjadi lebih adil. Setiap putusan harus menjadi jembatan, bukan sekat. Hukum yang hidup adalah hukum yang tidak berhenti pada dokumen, tetapi bergerak bersama masyarakat.

Hukum harus memuliakan manusia sebagaimana Tuhan memuliakan makhluk-Nya.


Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor : Bahtiar