KOLAKA, INSERTRAKYAT.COM – Gelombang aspirasi rakyat kembali menggema di depan Kantor DPRD Kabupaten Kolaka. Tepat pada 30 April 2025, sehari menjelang peringatan Hari Buruh Internasional, sebanyak 14 organisasi adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tolaki Mekongga Mepokoaso, bersama Forum Swadaya Masyarakat Daerah (Forsda) dan Serikat Pekerja Tanah Mekongga (SP-TN), menggelar aksi damai untuk menyuarakan berbagai persoalan yang dianggap membungkam hak masyarakat lokal.
Dalam aksinya, massa menuntut DPRD Kolaka untuk segera menggelar rapat dengar pendapat bersama para pemilik lahan di Rayon Lambuato, terkait dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang, yakni PT. Indonesia Pomalaa Industrial Park (IPIP) dan PT. Rimau. Mereka juga menyoroti penetapan kawasan hutan dan legalitas surat tanah yang tak lagi diakui pemerintah desa setempat, meski telah disahkan sejak tahun 1984.
Selain itu, aliansi menuntut pelaksanaan regulasi daerah dalam perekrutan tenaga kerja yang mengutamakan 70% pekerja lokal. Mereka juga meminta agar perusahaan tak semena-mena terhadap hak-hak pekerja dan mengedepankan kesejahteraan serta asas keadilan dalam proses rekrutmen. Salah satu poin sorotan adalah praktik medical check-up yang dinilai penuh manipulasi oleh klinik tertentu, serta stigma “orang dalam” dalam seleksi kerja.
“Kami bukan buruh di tanah sendiri,” teriak salah satu orator. “Kami adalah anak negeri yang berhak atas masa depan di tanah warisan leluhur kami”serunya.
Aliansi juga menyoroti PT Vale yang dinilai hanya membuka peluang kerja lewat perusahaan mitra tanpa memperhatikan kesejahteraan warga asli Mekongga. Mereka menuntut PT Vale membuka langsung rekrutmen untuk posisi strategis, bukan menjadikan masyarakat lokal sekadar buruh rendahan di perusahaan-perusahaan mitra.
Merespons aspirasi tersebut, DPRD Kabupaten Kolaka melalui Komisi I berjanji akan memanggil seluruh pihak perusahaan yang disebutkan, termasuk Direktur PT IPIP, PT SLG, PT Rimau, dan PT Ceria Nugraha Indotama dalam rapat dengar pendapat pada 10 Mei 2025 mendatang.
Aksi ini adalah suara rakyat yang tak bisa dibungkam. “Tanah leluhur bukanlah komoditas yang bisa diperdagangkan dengan kekuasaan yang semena-mena,” pungkas Ian, rakyat.