Lampung Timur,- Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Tanjung Karang menjatuhkan vonis berat terhadap mantan Kepala Desa Trimulyo, Alin Setiawan (38), dalam kasus korupsi pengadaan lahan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Margatiga. Putusan itu menyita perhatian publik, terutama soal lemahnya pengawasan negara terhadap proyek raksasa bernilai triliunan rupiah.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (27/5/2025), Alin divonis 8 tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp842,8 juta. Jika dalam satu bulan setelah putusan inkrah uang pengganti itu tak dibayar, maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Bila hasilnya tak cukup, terdakwa akan menjalani pidana tambahan selama dua tahun sembilan bulan.
Perkara ini berawal dari pengadaan lahan untuk proyek Bendungan Margatiga di Lampung Timur yang tercantum dalam daftar PSN berdasarkan Perpres No. 3 Tahun 2016 dan revisi terakhir Perpres No. 56 Tahun 2018. Dalam pelaksanaannya, Alin yang kala itu menjabat sebagai Kepala Desa Trimulyo, diduga berperan aktif mengatur praktik manipulatif pada proses identifikasi dan inventarisasi lahan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam fakta persidangan, terungkap bahwa terdakwa mengarahkan sejumlah perangkat desa dan warga untuk menambahkan elemen tanam tumbuh, kolam ikan hingga sumur bor ke atas lahan milik masyarakat. Tujuannya untuk memanipulasi nilai ganti rugi yang dibayarkan negara. Hal ini kemudian disahkan melalui dokumen resmi yang ditandatangani sendiri oleh terdakwa.
Majelis menyatakan, tindakan Alin mengakibatkan kerugian negara.
Amar putusan disusun dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan perkara Tipikor. Hakim menilai:
Peran terdakwa tergolong aktif dan sadar
Dampak terhadap kelanjutan proyek masih ringan
Keuntungan pribadi terdakwa relatif kecil (di bawah 10% kerugian negara)
Kendati demikian, Vonis terhadap terdakwa menimbulkan sorotan dari kalangan masyarakat.
Ia berinisial N (45) menyampaikan kritik keras terhadap pola pengawasan proyek strategis yang dinilai sangat lemah.
“Kalau pengawasan itu benar-benar dijalankan sejak awal oleh APIP dan APH, mungkin tidak akan ada kasus seperti ini. Tapi kenapa baru diproses setelah jabatannya berakhir?” ucap N kepada Insertrakyat.com, Rabu (28/5/2025).
Ia menilai vonis terhadap Alin sebagai bentuk dari sistem hukum yang tebang pilih dan politis. “Seolah hanya satu orang dijadikan tumbal,” lanjutnya.
N juga meminta agar penegakan hukum tidak berhenti pada pelaku lapangan saja, tetapi juga menyasar pihak-pihak lain yang punya tanggung jawab struktural dalam pengawasan dan pelaksanaan proyek.
“Kalau mau adil, sila kelima Pancasila itu harus benar-benar ditegakkan. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkasnya. (*).