“Sebagai pengajar di USU Medan dan UKI Jakarta, Prof Binsar berharap pemerintah segera menyusun regulasi khusus mengenai tata cara eksekusi pidana mati, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan lebih jelas dan adil”
Jakarta, Insertrakyat.com,— Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Namun, hingga kini, pemerintah belum membentuk peraturan khusus mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati. Padahal, Pasal 102 KUHP baru secara tegas menyatakan bahwa mekanisme eksekusi pidana mati harus diatur dalam undang-undang tersendiri. Kamis, (6/3/2025).
Prof Binsar Gultom, Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, menegaskan bahwa tanpa regulasi yang jelas, aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim akan kesulitan dalam mengeksekusi pidana mati; sesuai ketentuan Pasal 100 hingga Pasal 101 KUHP.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanpa aturan lebih lanjut, pelaksanaan hukuman ini menjadi problematis. Misalnya, Pasal 100 ayat (1) mensyaratkan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati, dengan pertimbangan adanya penyesalan dan harapan perbaikan diri. Bagaimana hakim dapat memastikan hal itu hanya dari persidangan yang singkat?” ujar Prof Binsar, di Jakarta, Rabu, (5/3/2025).
Prof Binsar menilai ketentuan Pasal 100 ayat (1) lebih tepat dimasukkan ke dalam ayat (4), yang mengatur bahwa jika terpidana menunjukkan sikap dan perilaku terpuji selama 10 tahun masa percobaan, hukuman mati bisa diubah menjadi pidana seumur hidup berdasarkan keputusan presiden setelah pertimbangan Mahkamah Agung.
“Proses ini seharusnya menjadi domain pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, bukan dibebankan kepada hakim di persidangan. Oleh karena itu, ketentuan ini sebaiknya direvisi agar hakim memiliki kebebasan lebih dalam memutus perkara, sesuai prinsip independensi peradilan yang dijamin oleh UUD 1945,” tegas Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang itu.
Selain itu, Prof Binsar juga menyoroti kejanggalan dalam Pasal 101 KUHP, di mana hukuman mati dapat berubah menjadi pidana seumur hidup jika eksekusi tidak dilakukan dalam 10 tahun setelah grasi ditolak presiden.
“Pasal ini tidak secara jelas mengatur alasan mengapa eksekusi bisa tertunda hingga 10 tahun. Hal ini perlu diatur lebih rinci dalam undang-undang khusus mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati,” ujar mantan hakim dalam kasus kopi bersianida itu.
Sebagai pengajar di USU Medan dan UKI Jakarta, Prof Binsar berharap pemerintah segera menyusun regulasi khusus mengenai tata cara eksekusi pidana mati, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan lebih jelas dan adil.
Penulis : Syamsul
Editor : Supriadi