BANDUNG, INSERTRAKYAT.com —
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pasundan (Unpas), Bandung. Saat ini Nawawi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin.
Ia berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Penanganan Bersama Tindak Pidana Korupsi Antar Penegak Hukum (Polri–Kejaksaan–KPK) Ditinjau dari Teori Hukum Integratif.”
Sidang promosi doktor Nawawi digelar pada Selasa (7/10/2025) di Aula Mandalasaba dr. Djoenjoenan, Kampus Pascasarjana Unpas, Jalan Sumatra No. 41, Kota Bandung.
Sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. H. Bambang Heru sebagai Ketua Sidang Promosi, didampingi Dr. Dedy Hernawan selaku Copromotor. Adapun tim penelaah terdiri dari Prof. Dr. Didi Turmudzi, M.Si, Dr. Hj. N. Ike Kusmiati, S.H., M.Hum, dan Dr. Siti Rodiah, S.H., M.H.
Sidang dihadiri keluarga, kolega, dan rekan kerja Nawawi, serta turut hadir Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Setiawan. Suasana akademik berlangsung khidmat, tertib, dan penuh penghargaan terhadap capaian ilmiah sang promovendus.
Nawawi menjelaskan bahwa pemilihan tema disertasinya berangkat dari pengalaman panjang saat bertugas di KPK. Ia menilai, sinergi antarlembaga penegak hukum sangat menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Saya mengangkat permasalahan yang pernah saya alami di KPK, dalam kaitannya menangani perkara-perkara hukum korupsi. Apa yang saya temukan di sana saya tulis agar menjadi bahan akademik dan solusi hukum,” ujar Nawawi.
Dalam disertasinya, Nawawi menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menghukum pelaku, tetapi juga harus memastikan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi. Menurutnya, pengesahan RUU Perampasan Aset merupakan langkah krusial untuk memperkuat mekanisme pemulihan kerugian negara.
Melalui pendekatan Teori Hukum Integratif, Nawawi menjelaskan pentingnya kerja sama antara Polri, Kejaksaan, dan KPK. Kolaborasi tersebut, katanya, memiliki dasar hukum kuat dalam berbagai regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Namun dalam praktiknya, ia menemukan masih adanya celah hukum, tumpang tindih kewenangan, serta ego sektoral yang menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi.
“Penelitian ini bertujuan menganalisis penanganan bersama penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi, agar terwujud sistem penegakan hukum yang transparan dan berintegritas,” tegas Nawawi di hadapan dewan penguji.
Disertasinya menggunakan metode deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara sistematis dan akurat hubungan antar fenomena hukum yang terjadi di lapangan.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Nawawi menelaah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, kemudian menganalisisnya secara yuridis kualitatif untuk menghasilkan pemahaman mendalam terkait sinergi antarlembaga penegak hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi Polri, Kejaksaan, dan KPK sudah memiliki landasan hukum kuat untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang profesional dan transparan.
Namun, Nawawi menilai praktik di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, seperti koordinasi yang lemah, perbedaan SOP, intervensi politik, keterbatasan sumber daya manusia, hingga minimnya pertukaran data digital antar lembaga.
Ia menawarkan beberapa rekomendasi solusi, antara lain:
- Harmonisasi regulasi antar penegak hukum.
- Penyelarasan SOP dan peningkatan koordinasi melalui forum rutin.
- Penguatan etika dan profesionalisme aparat hukum.
- Pemanfaatan teknologi digital seperti e-audit dan e-prosecution.
- Pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan publik untuk memperkuat budaya antikorupsi.
Nawawi juga membandingkan strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara.
Menurutnya, Amerika Serikat berhasil memulihkan kerugian negara secara cepat berkat sistem litigasi yang ketat.
Sementara Singapura memiliki tingkat kerugian kecil karena sistem penyitaan aset yang efisien.
Sebaliknya, Malaysia menghadapi pemulihan yang lambat meski kerugian besar, sedangkan Indonesia masih terkendala koordinasi dan lemahnya implementasi peraturan.
Ia menilai, RUU Perampasan Aset harus segera disahkan untuk memperkuat efektivitas pemulihan aset negara hasil korupsi dan memperkecil potensi kerugian keuangan negara.
Setelah mempertahankan disertasinya, Nawawi dinyatakan lulus dengan IPK 3,91 dan memperoleh predikat Yudisium Sangat Memuaskan. Ia menjadi lulusan ke-135 Program Doktor Ilmu Hukum Unpas.
Capaian akademik tersebut menegaskan konsistensi Nawawi sebagai figur hukum yang tidak hanya berpengalaman di praktik peradilan, tetapi juga berkomitmen memperkuat pondasi akademik hukum di Indonesia.
“Gelar ini bukan akhir perjalanan, tetapi awal untuk terus berkontribusi dalam memperbaiki sistem hukum yang lebih adil dan integratif,” pungkas Nawawi.
Penulis: Samudera