Sejumlah foto dokumen terkait kasus dugaan penipuan yang menimpa Huzaini. (Sumber: Foto Huz)


SURABAYA, INSERT RAKYAT – Janji proyek fisik dari program CSR Pemerintah Provinsi Jawa Timur menjadi pintu masuk penipuan terstruktur. Proyek bernilai ratusan juta rupiah yang ditawarkan melalui jaringan oknum pegawai negeri dan swasta, “proyek terbukti fiktif”. Salah satu korbannya, Huzaini, mengaku merugi hingga nyaris Rp1 miliar. “Saya korbannya brother,” kata Huzaini kepada Insertrakyat.com, Sabtu, (28/6/2025). Huzaini kembali menjerit setelah ia tahu kasus ini mandek di wilayah hukum Polda Jatim. Ia lalu melaporkan melalui persuratan ke Mabes Polri. Kini ia menanti tindaklanjuti dari Kapolri dan jajarannya.

Awal mula kasus ini terjadi pada 2023. Huzaini ditawari proyek pengaspalan dan pelengsengan jalan di Bangkalan, Madura. Proyek tersebut diklaim bagian dari program Forum CSR yang dinaungi Bappeda Jawa Timur.

Tawaran datang melalui perantara W.W., yang memperkenalkan proyek dari A.Y.W., pejabat PNS di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pemprov Jatim, serta dua sosok swasta: N.D.K.D. dan T.S. alias D.K.

“W.W. bilang tinggal siapkan CV, proyek ini pasti jalan. Saya percaya karena yang bicara orang dinas,” ujar Huzaini.

Pertemuan digelar di Pizza Hut Taman Apsari. Hadir dalam pertemuan: Huzaini, N.D.K.D., T.S., W.W., J.K., serta seorang lainnya yang mengaku bagian dari Forum CSR. Presentasi meyakinkan, lengkap dengan daftar RAP dan titik proyek. Lokasi: 50 titik tambal sulam jalan di Bangkalan.

Huzaini menyetujui ambil 10 titik. W.W. juga ambil 10 titik. Komitmen fee dibayar 10% dari nilai proyek. Untuk menandatangani SPK dan fakta integritas, Huzaini diminta bayar tunai Rp10 juta. Pembayaran dilakukan langsung ke N.D.K.D. dan sebagian melalui W.W.

Namun proyek tidak kunjung berjalan. Setelah SPK diteken, bahan sempat dibeli, namun tidak ada instruksi kerja. “Minggu demi minggu, bulan ke bulan, tidak ada progres,” katanya.

Upaya klarifikasi ke pihak-pihak terkait tak membuahkan hasil. W.W. dan J.K. ikut berinisiatif mengecek ke Bappeda Jatim. Hasilnya mengejutkan: proyek tersebut fiktif.

“Proyek yang ditawarkan ternyata proyek lama, tahun sebelumnya. Datanya dicatut dan dikemas ulang seolah proyek baru,” kata Huzaini mengutip informasi dari Bappeda.

BACA JUGA :  Kejaksaan Agung Tetapkan 7 Tersangka Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah PT Pertamina

Nama A.Y.W. disebut sebagai dalang utama. Ia diketahui menjabat Kepala Sub Bidang Pemerintahan di Dinas PMD Jatim. Akibat kasus ini, A.Y.W. dikenai sanksi etik, diturunkan pangkat, dan diminta mengembalikan dana korban.

Huzaini mengaku merugi hingga Rp710 juta. Sementara hasil penyidikan mengonfirmasi aliran dana Rp665 juta yang ditelusuri masuk ke beberapa rekening, termasuk milik N.D.K.D., T.S., dan A.Y.W. Dana Rp270 juta disebut masuk ke rekening W.W. yang juga berperan sebagai saksi.

“Saya seperti ATM berjalan,” keluh Huzaini. Ia kini mendesak Polda Jawa Timur membekukan aset dan rekening para terduga pelaku. Permintaan ini merujuk pada Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, 38, 39, 44, dan 130 ayat (2) KUHAP.

Nama-nama yang disebut sebagai terlibat atau menerima aliran dana:

1. T.S. alias D.K., 27 tahun, swasta, tinggal di Krian, Sidoarjo, dan Kota Batu, Malang.

2. N.D.K.D., 28 tahun, swasta, tinggal di Sawahan, Surabaya, dan Kota Batu.

3. A.Y.W., PNS Pemprov Jatim, jabatan terakhir Kepala Sub Bidang Pemerintahan.

4. W.W., karyawan swasta, lahir 1967, tinggal di Sambikerep, Surabaya.

5. J.K., wiraswasta, kelahiran 1966, tinggal di Benowo, Surabaya.

Huzaini mengungkap bahwa kepercayaannya dibangun oleh relasi antarpelaku. W.W. disebut bersahabat dengan J.K. yang mengenal A.Y.W. Fee yang dibayarkan pun disebut dibagi: 2,5% untuk J.K. dan W.W. sebagai penghubung.

Semua berjalan meyakinkan hingga terkuak fakta bahwa tidak ada legalitas proyek dari Bappeda. Modus yang digunakan terstruktur dan terkesan sistematis. Bahkan diduga ada sub-koordinasi pelaku untuk memperdaya korban.

“Dari pola dan peran, ini bukan penipuan perorangan. Ada indikasi kuat pelaku berjejaring dan menyalahgunakan jabatan,” ujar Huzaini. Ia berharap aparat segera bertindak tegas.

Saat ini, Huzaini tengah menyiapkan laporan lanjutan. Ia berharap kejadian ini menjadi pembelajaran bagi publik agar lebih hati-hati dalam menerima tawaran proyek, terlebih atas nama instansi pemerintah.

Sebelumnya diberitakan pada edisi I Insertrakyat.com. Seorang pria paruh baya asal Jrengik, Kabupaten Sampang, Madura, bernama H. Moh. Huzaini masih setia menanti keadilan di negeri ini.

BACA JUGA :  Tiga Nyawa Pengunjung Pantai Ammani Melayang, Kades Mattirotasi Malah Sibuk Menakar Iuran Warung Milik Rakyat

Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia melaporkan kasus dugaan penipuan dan penggelapan ke Polda Jawa Timur, namun proses hukum belum tuntas.

Pengaduan terakhir yang ia kirimkan tertanggal 29 November 2024 ditujukan langsung kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Cq. Divisi Propam Polri. Isinya tegas: meminta atensi dan percepatan proses hukum atas laporannya di Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Jatim yang mandek sejak 31 Juli 2022.

Huzaini mengaku tak nyaman membuat pengaduan ini. Ia menyadari, langkahnya bisa dianggap kurang menghargai koordinasi internal di tubuh kepolisian. Tapi, menurutnya, sebagai warga negara yang hak hukumnya diabaikan, ia “terpaksa” bersuara ke pusat.

“Saya bukan ingin menyudutkan institusi, tapi menagih keadilan yang selama ini tidak saya dapatkan,” tulisnya dalam gambaran surat yang ia kirim ke Mabes Polri.

Kasus yang dilaporkan Huzaini menyangkut dugaan penipuan dan penggelapan uang oleh dua orang bernama N.D.K.D. dan T.S. alias D.K., yang menurutnya hanyalah kurir dari aktor intelektual di balik kasus ini. Nilai kerugian yang dialaminya tidak disebutkan secara rinci dalam surat, namun ia menyebutkan kerugian serupa juga dialami rekan-rekannya.

Yang menjadi persoalan, dari sederet nama yang diduga terlibat, hanya satu yang ditetapkan sebagai tersangka. Selebihnya masih melenggang, bahkan diklaim tetap bisa berkomunikasi dengan penyidik.

Nama A.Y.W., seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, turut disebut dalam dugaan sebagai otak kejahatan. Huzaini menyebut A.Y.W. diduga sebagai “dalang”, dan ia mengklaim keterlibatan ini juga sudah tercantum dalam rekomendasi Inspektorat dan Bappeda Jatim.

Namun hingga kini, A.Y.W. belum dipanggil atau diperiksa oleh penyidik. “Mengapa orang yang diduga paling bertanggung jawab justru tak tersentuh?” kata Huzaini.

Dalam narasi panjangnya, Huzaini memaparkan betapa proses hukum yang ia tempuh penuh kejanggalan. Mulai dari tidak diundangnya korban dalam gelar perkara, hingga janji pengembalian dana yang berulang kali disampaikan oleh penyidik namun tak pernah terealisasi.

Ia bahkan menyebut, komunikasi antara tersangka dan penyidik masih terjalin lancar meski status tersangka sudah resmi. Dalam satu kesempatan, penyidik menjanjikan pengembalian uang pada Desember 2023, namun janji itu tak kunjung ditepati.

BACA JUGA :  Indonesia Resmi Luncurkan Danantara, Rosan Roeslani Tegaskan Tata Kelola Transparan dan Berintegritas

Tak sekadar protes lisan, Huzaini menyusun bukti administratif yang ia sebut sebagai jejak lambannya penanganan kasus. Total, ia melampirkan 18 dokumen, termasuk:

Surat perkembangan penyidikan (SP2HP) dari Agustus 2022 sampai Agustus 2024.

Surat tanda penerimaan SPDP dari Polda Jatim.

Surat kuasa perbankan dari dua bank berbeda.

Surat daftar pencarian orang (DPO) atas salah satu terlapor tertanggal 28 Maret 2024.

Namun, meski sudah masuk tahapan panjang, tak ada satu pun proses signifikan yang mampu menghapus kekecewaan Huzaini.

Dalam pengaduannya, Huzaini juga menyorot pasal 143 KUHAP tentang batalnya dakwaan jika tidak cermat dan lengkap. Ia menilai proses sejak di tingkat penyidikan sudah tidak transparan, sehingga bisa berdampak pada kesalahan di jaksa hingga hakim.

“Kalau dari awal berkasnya sudah tidak terang, maka di tingkat kejaksaan dan pengadilan juga bisa terkecoh,” kritiknya.

Lebih jauh, Huzaini menduga ada kongkalikong antara penyidik, saksi, dan tersangka. Nama-nama seperti D.K. dan W.W. juga dimintanya untuk diperiksa, karena diduga mengetahui atau turut serta dalam skema yang merugikannya.

Namun lagi-lagi, semua usul itu menguap tanpa respons pasti dari aparat penegak hukum.

Dalam surat itu, Huzaini menutup keluhannya dengan pengakuan menyayat hati. Ia menyebut, demi mengurus kasus ini, dirinya sudah berkali-kali menyeberang dari Madura ke Surabaya. Biaya, waktu, dan tenaga terkuras. Namun hasilnya nihil.

“Kami mohon, jangan biarkan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ungkapnya.

Surat pengaduan ini ia tujukan ke Mabes Polri, dengan harapan agar Propam bisa menyelidiki dugaan pelanggaran etik atau ketidakwajaran dalam penanganan kasusnya. Salinan surat juga ditembuskan ke Komisi III DPR RI, Komnas HAM, Ombudsman RI, Kompolnas, Polda Jatim, hingga Kejati Jatim.

Ia menutup suratnya dengan nada diplomatis, “Saya tetap percaya Polri bisa bekerja profesional, adil, dan tidak tebang pilih.”

Sejumlah pihak masih berupaya dikonfirmasi.


(Tim Insertrakyat.com)