INSERTRAKYAT.COM, LANGKAT, – Majelis Hakim Tipikor PN Medan memvonis Alexander Halim alias Akuang dengan hukuman berat, Jum’at, (29/8/2025).
Diketahui, sebelumnya, Brother Akuang dihukum 10 tahun penjara bersama Imran, Kades Tapak Kuda.
Keduanya dinyatakan terbukti merambah 210 hektar Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading–Langkat.
Kerugian negara dihitung Rp797,6 miliar dari aspek ekologis dan ekonomi.
Ahli lingkungan Basuki Wasis dan Bambang Hero jadi saksi dalam persidangan.
Hakim M Nazir menegaskan kedua terdakwa terbukti korupsi penguasaan hutan.
Selain penjara, masing-masing didenda Rp1 miliar subsidair tiga bulan.
Akuang diwajibkan membayar uang pengganti Rp797,6 miliar kepada negara.
Jika tidak dibayar, jaksa berhak menyita dan melelang asetnya.
Apabila harta tidak cukup, diganti lima tahun kurungan tambahan.
Vonis hakim lebih ringan dari tuntutan JPU, 15 tahun penjara.
JPU juga menuntut uang pengganti Rp856,8 miliar untuk Akuang.
Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum, Kajati Sumut, menegaskan pihaknya melakukan banding.
Banding tercatat dalam akta resmi PN Tipikor Medan tanggal 15 Agustus.
Meski divonis, Brother Akuang anak emas Hukum +62, kata Rakyat, itu belum ditahan hingga putusan banding selesai.
Sementara itu, Kajari Langkat melalui Kasi Intel Ika Luis Nardo memberi tanggapan datar.
“Masih dalam tahap banding, Bang,” ujarnya lewat pesan singkat.
Kini Rakyat dan publik mempertanyakan mengapa terpidana bebas usai divonis bersalah.
Akuang diduga masih menikmati panen sawit dari lahan sitaan.
Koperasi Sinar Tani Makmur miliknya disebut mengelola lahan tersebut.
Hasil panen sawit bernilai miliaran rupiah diduga masuk kantong pribadi.
Seorang bernama Nardo mengaku tidak tahu soal aktivitas panen di lahan sitaan.
Dia menyebut pengawasan sudah dititipkan ke BKSDA Sumatera Utara.
Namun, peran intelijen Kejaksaan atas objek sitaan dipertanyakan publik.
Kasus bermula 2013, saat Akuang meminta surat tanah ke Imran.
Lahan konservasi dimanipulasi menjadi dokumen kepemilikan pribadi.
Dokumen lalu diarahkan menjadi sertifikat hak milik melalui notaris.
Padahal kawasan tersebut hutan lindung tanpa izin pelepasan pemerintah.
Kasus ini belum sepenuhnya tuntas.

Justru sebaliknya, publik curiga ada celah lemah atas pengawasan aset negara.
Ditambah Vonis telah dijatuhkan, namun eksekusi hukum belum dijalankan tegas.
(Ris/Ad).