BENGKALIS, INSERTRAKYAT.com —
Gelombang sorotan terhadap manejemen Pelabuhan RoRo Air Putih–Sungai Selari kembali meninggi. Setelah sebelumnya Ombudsman RI Perwakilan Riau mengungkap potensi maladministrasi, kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan kuat adanya ketidakwajaran dalam pengelolaan retribusi kepelabuhanan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Bengkalis.
Pelabuhan yang menjadi nadi ekonomi Pulau Bengkalis itu seakan tak pernah sepi masalah. Di balik hiruk pikuk antrean kendaraan dan aktivitas penyeberangan, BPK menyingkap tabir ketidaktertiban finansial. Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang baru dirilis, ditemukan realisasi pendapatan retribusi sebesar Rp6,13 miliar, namun tidak seluruhnya dikelola sesuai ketentuan perundang-undangan.
Salah satu temuan paling mencolok ialah pemungutan retribusi dilakukan oleh pihak ketiga, yakni Koperasi Karyawan Dinas Perhubungan. Ironisnya, pemungutan tersebut tanpa ada dokumen kerja sama resmi maupun dasar hukum yang sah.
BPK juga mencatat adanya penundaan penyetoran ke kas daerah antara 5 hingga 28 hari. Selama rentang waktu itu, dana hasil retribusi disimpan lebih dulu di brankas koperasi, bukan di kas daerah sebagaimana mestinya.
Sejumlah analis menilai praktik semacam ini bukan hanya melanggar prinsip akuntabilitas, tapi juga membuka peluang kebocoran pendapatan daerah. Potensi konflik kepentingan antara pejabat Dishub dan koperasi internal pun tak terelakkan.
Menanggapi temuan tersebut, Kepala Dinas Perhubungan Bengkalis, Adi Pranoto, berusaha meredam polemik. Ia menegaskan, temuan BPK tersebut “tidak substansial”.
“Itu hanya soal waktu penyetoran. Kapal RoRo beroperasi sampai malam, jadi penyetoran dilakukan 2×24 jam. Tidak ada pelanggaran besar,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (15/10/2025).
Namun, tanggapan itu dinilai belum menyentuh akar persoalan. BPK sendiri menyoroti ketidakjelasan mekanisme pengelolaan dana, serta lemahnya sistem kontrol internal. Pengamat publik menilai pernyataan Kadishub justru menunjukkan minimnya kesadaran transparansi keuangan di tubuh Dishub.
Alih-alih fokus menindaklanjuti rekomendasi BPK dan Ombudsman, Pemkab Bengkalis justru membentuk Satgas Pengawasan Pelayanan RoRo.
Rapat pembentukannya digelar Selasa (14/10/2025) di kantor Dishub Bengkalis, dipimpin langsung Sekretaris Daerah dr. Ersan Saputra. Anehnya, Kadishub sendiri tidak hadir dalam rapat itu.
Satgas baru ini disebut-sebut bertugas menertibkan antrean kendaraan dan memberikan edukasi pengguna jasa. Namun, warga menilai langkah itu tidak menyentuh akar masalah.
“Lucu juga, tiap ada masalah langsung bikin Satgas. Padahal yang rusak sistemnya, bukan orangnya,” ujar Ahmad, warga Bengkalis, kepada Insertrakyat.com
Hingga Rabu, (15/10/2025, Masyarakat dan Publik menilai pembentukan Satgas hanya bersifat kosmetik, tanpa menyentuh reformasi struktural yang dibutuhkan di sektor pelayanan RoRo.
Sebelumnya, Ombudsman RI Perwakilan Riau telah melakukan kajian cepat pada tahun 2023 dan menemukan indikasi maladministrasi dalam tata kelola Pelabuhan RoRo Bengkalis. Lembaga pengawas pelayanan publik itu bahkan telah memberikan lima rekomendasi strategis kepada Pemkab Bengkalis:
1. Pemenuhan standar pelayanan penumpang sesuai Permenhub No.119/2015;
2. Perencanaan anggaran pemeliharaan dan penambahan dermaga;
3. Evaluasi SK Bupati No. 658/KPTS/X/2021 tentang prioritas kendaraan dinas;
4. Pelatihan berkala bagi petugas pelabuhan;
5. Pembentukan BLUD Pelabuhan RoRo agar lebih profesional dan akuntabel.
Namun, hingga kini, rekomendasi itu nyaris tidak dijalankan. Tak ada pembenahan signifikan, bahkan sistem retribusi masih dikelola secara manual dan berlapis.
Sorotan juga datang dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Bengkalis.
Sekretaris DPH-nya, Datuk Riza Zulhelmi, menilai pembentukan Satgas hanyalah langkah reaktif yang tak menyelesaikan akar masalah.
“Ombudsman sudah rekomendasikan reformasi kelembagaan. Pemerintah seharusnya bentuk Tim Percepatan Transformasi Pengelolaan RoRo, bukan Satgas pengawasan,” tegas Datuk Riza.
Ia menilai persoalan di Pelabuhan RoRo bukan sekadar teknis antrean, melainkan keterpurukan sistem tata kelola dan transparansi keuangan publik.
Menurutnya, reformasi yang dibutuhkan harus mencakup digitalisasi tiket, transparansi tarif, integrasi sistem keuangan online, dan peningkatan fasilitas untuk masyarakat umum serta kelompok rentan.
“Tujuannya bukan administratif. Kita ingin pelayanan publik yang modern dan akuntabel, sesuai semangat reformasi birokrasi,” tegasnya.
Ahmad menceritakan bahwa, Pelabuhan RoRo Air Putih–Sungai Selari menjadi jalur utama penghubung antara Pulau Bengkalis dan daratan Sumatera. Setiap hari, ratusan kendaraan dan ribuan penumpang bergantung pada jalur ini untuk kegiatan ekonomi, pendidikan, dan sosial.
Namun, persoalan antrean panjang, keterbatasan kapal, dan pengelolaan keuangan yang amburadul telah menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja Pemkab Bengkalis.
Ketika dana retribusi Rp6,13 miliar tidak dikelola dengan disiplin, masyarakat pun mempertanyakan: kemana sebenarnya uang publik itu mengalir.
Temuan BPK dan rekomendasi Ombudsman sejatinya adalah vitamin bagi pemerintah daerah.
Ketika lembaga pengawas keuangan dan pelayanan publik bersuara serempak, itu pertanda sistem pengelolaan pelabuhan sudah memasuki fase kritis.
Alih-alih menambah struktur baru seperti Satgas, langkah yang dibutuhkan adalah pembersihan internal Dishub, audit ulang terhadap mekanisme retribusi, dan pelaksanaan rekomendasi Ombudsman secara total.
Sebab jika pola lama tetap dipertahankan, maka bukan mustahil kebocoran keuangan publik terus berulang setiap tahun anggaran, menjerumuskan Bengkalis dalam lingkaran maladministrasi permanen.
Pelabuhan RoRo Air Putih–Sungai Selari kini menjadi buah bibir masyarakat, dimana tata kelola keuangan publik di daerah itu semrawut. Pasalnya Temuan BPK senilai Rp6,13 miliar kian memantul kegagalan akuntabilitas.
Pemkab Bengkalis diharapkan tak lagi “menambal” masalah dengan Satgas, melainkan berani melakukan reformasi sistemik. Pemkab mesti memperkuat kontrol keuangan, menerapkan digitalisasi tiket, dan memastikan seluruh hasil retribusi masuk ke kas daerah tanpa celah kebocoran.
“Karena rakyat berhak tahu, siapa yang bermain di balik Rp6,13 miliar itu,” demikian pungkas Ahmad.
Penulis: Romi| Editor Supriadi Buraerah.

































