MALIANU,– SARI, remaja seusianya anak kelas dua SMP, tumbuh di bawah langit yang cerah dan hutan yang lebat. Sungai Tubu, tempat ia tinggal, dikenal damai oleh orang luar. Tapi tak semua yang tenang itu benar-benar aman.

Mulanya, pada suatu malam di tahun 2015, rumahnya hanya berisi dua orang: dirinya dan ayahnya, Tinus. Ibu dan saudara lain ke kebun. Suara jangkrik biasa menenangkan, namun malam itu terasa menyesakkan.

Sari tak pernah tahu bahwa rumah yang mestinya menjadi tempat pulang, justru menjadi ruang pertama ia kehilangan segalanya, harga diri, suara, bahkan keberanian untuk bicara.

Ketika suara pintu kamar terbuka dan kain membekap mulutnya, dunia Sari berubah. Tak ada suara. Tak ada ampun. Tubuhnya diikat, jiwanya direnggut. Setelah itu, hanya ancaman:
“Kau cerita, kau mati.”

Hari berganti minggu, bulan menjadi tahun. Tak pernah ada jeda. Dalam seminggu, dua sampai tiga kali Tinus datang sebagai hantu dalam rumah sendiri. Ia memilih waktu: saat rumah sepi, saat anak lain bermain, saat ibu di ladang.

Kekejaman Tinus bukan hanya soal tubuh. Tapi soal bagaimana seseorang menghancurkan satu-satunya tempat yang mestinya memberi rasa aman: ayah kandung dan rumahnya sendiri.

Sari mulai pandai berbohong, pura-pura tidak sakit, tidak takut, tidak apa-apa. Padahal, setiap malam ia tidur dengan kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Ia menangis diam-diam, bukan karena lemah, tapi karena terlalu lama memendam.

Tak ada yang tahu. Di sekolah, ia tetap tersenyum. Di gereja, ia tetap mengangguk. Di rumah, ia tetap diam.

BACA JUGA :  Kapolsek Bacukiki Prihatin, Tiga Pemuda Nekat Maling di Depot Air Gelas : Motif foya - foya !

Beberapa tahun kemudian, Sari menikah. Pernikahan adat sederhana di kampung, membawa harapan: semoga ayahnya berhenti. Tapi harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan.

Bahkan ketika suaminya sudah tinggal bersamanya, teror itu tak berhenti. Tinus datang seperti biasa. Diam-diam. Dengan ancaman yang sama. Bahkan ketika Sari mengandung dan melahirkan, tubuhnya tetap tak dianggap sebagai miliknya sendiri.

Saat itu, Sari sadar: ini bukan soal hubungan ayah dan anak. Ini kekuasaan. Ini kejahatan. Ini dosa yang tak bisa ditebus dengan uang, damai adat, atau maaf.

Yang membuat Sari akhirnya bicara bukan rasa sakit di tubuh, tapi rasa takut kehilangan anaknya. Suatu malam, Tinus mengacungkan parang ke cucunya.

“Suruh mamamu ke sini! Kalau tidak, kau kubunuh!”

Itu bukan lagi soal aib. Bukan soal malu. Itu soal nyawa. Maka, Sari memutuskan: cukup. Ia buka suara. Ia cerita pada ibu, lalu pada paman, lalu pada keluarga besar.

Tangis pecah. Amarah meledak. Tapi mereka tak tahu harus bagaimana. Mereka memilih cara yang mereka kenal: penyelesaian adat. Mereka buat surat damai. Tinus berjanji berhenti.

Namun, dua hari setelah itu, Sari kembali disentuh. Janji itu palsu. Dosa itu diulang.

Ditemani keluarga, Sari datang ke Polres Malinau. Di sana, untuk pertama kalinya, ia bicara dengan utuh. Tentang semua yang terjadi sejak ia remaja. Tentang malam-malam panjang. Tentang luka yang tak terlihat.

BACA JUGA :  Dugaan Perampokan Agen BRI Link di Sinjai Timur: Pelaku Belum Tertangkap, Kapolres Sinjai Beri Penjelasan

Penyidik mendengar. Psikolog menilai: trauma berat. Luka psikis. Gejala gangguan kecemasan. Tinus pun ditangkap. Tanpa perlawanan. Di balik dinginnya dinding sel, ia menunduk. Tapi tak semua luka bisa dibayar dengan kurungan.

Wakapolres Malinau, AKP Alamsyah Nugraha, kepada wartawan, (25/6/2025), menegaskan, proses hukum akan berjalan tuntas.

Tinus dijerat dengan:

  • Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak
  • Pasal 6 huruf b UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Ancaman hukuman: 5 hingga 20 tahun penjara. Tapi masyarakat bertanya: mengapa perlu 10 tahun agar keadilan bisa bergerak? Mengapa harus ada ancaman parang ke cucu agar sistem terbangun?

Kisah Sari bukan yang pertama. Dan bisa jadi bukan yang terakhir. Kekerasan seksual dalam rumah tangga kerap tak terlihat karena:

  • Korban takut
  • Keluarga bungkam
  • Masyarakat menyarankan penyelesaian adat
  • Negara datang terlambat

Padahal, satu anak yang mengalami ini, sudah cukup untuk mengatakan: sistem perlindungan anak kita belum bekerja baik.

Negara harus lebih hadir, bukan hanya ketika kasus sudah pecah, tapi ketika tanda-tanda muncul:

  • Anak menjadi pendiam
  • Anak enggan pulang
  • Anak mudah marah atau takut berlebihan

Lembaga seperti P2TP2A, Komnas Perempuan, unit PPA Polri, dan Dinas Sosial harus aktif menyentuh pelosok desa. Sosialisasi hukum tak boleh hanya di kota.
Karena di tempat seperti Sungai Tubu, hukum bisa dikalahkan oleh budaya diam.

BACA JUGA :  Polres Maros Tangkap Tujuh Terduga Pelaku Pembusuran yang Meresahkan Warga

Sari hari ini sedang menjalani pendampingan psikologis. Anaknya mulai tertawa. Tapi ia masih takut tidur sendiri. Masih terbangun di tengah malam. Masih gemetar saat mendengar suara laki-laki berteriak.

Ia belum sembuh. Tapi ia sudah bicara. Dan itu, adalah kemenangan awal.

Ia tidak butuh simpati. Ia butuh masyarakat belajar dari kisahnya.

Jangan lindungi pelaku hanya karena ia ayah.
Jangan bungkam anak hanya karena malu.
Jangan anggap penyelesaian adat bisa menghapus trauma.

Kisah Sari menyentuh nurani. Bukan karena lebay, tapi karena nyata. Ia mengajak kita berpikir sebagai orang tua, sebagai guru, sebagai tetangga, sebagai masyarakat: apa yang sudah kita lakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak?

Jika satu anak harus menunggu 10 tahun untuk bebas dari ayahnya sendiri, maka seluruh sistem hukum, adat, dan sosial kita layak dikritik.

Sari telah bicara.
Sekarang, kita tak boleh diam.

Jika Anda mengetahui anak yang mengalami kekerasan, laporkan segera, SAPA 129 (Kemensos), Polres terdekat – Unit PPA, Komnas Perempuan
LBH APIK atau P2TP2A daerah.

Karena satu anak yang selamat hari ini, bisa menyelamatkan generasi esok.
Dan karena keadilan, bukan hanya milik orang yang kuat. Tapi juga hak mereka yang pernah dibungkam.


Tinu saat ditangkap polisi terkait kasus asusila (25/6/2025).

Catatan Redaktur Eksekutif Insertrakyat.com : Narasi artikel disusun berdasarkan fakta hukum dan pernyataan resmi penyidik Polres Malinau. Nama korban disamarkan untuk menjaga martabat dan keselamatannya. Penangkapan pelaku Tinus berlangsung pada 25 Juni 2025. (Dokumenter Polisi).