JAKARTA, INSERTRAKYAT.COM, – Putusan majelis hakim dalam perkara penyalahgunaan narkotika dengan Nomor 840/Pid.sus/2024/Jkt.Brt menuai kritik tajam dari tim kuasa hukum terdakwa BK dan YS. Jum’at, (7/3/2025).

Kuasa hukum, Yulia mengungkap bahwa, dalam sidang vonis yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) pada Selasa (25/2), hakim tetap menjatuhkan hukuman pidana, meskipun Badan Narkotika Nasional (BNN) telah merekomendasikan rehabilitasi maksimal enam bulan.

“Inilah yang membuat kita (Kuasa hukum,-red) kecewa terhadap keputusan hakim,” ungkap Yulia kepada Insertrakyat.com, di Jakarta.

Sebelumnya dalam sidang, menurut Yulia, rekomendasi rehabilitasi sudah dikeluarkan oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT), yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta BNN. Namun, majelis hakim tetap memilih jalur pemidanaan.

BACA JUGA :  Unit PPA Satreskrim Polres Aceh Selatan Serahkan Dua Tersangka Kasus Pelecehan Seksual terhadap Anak ke Kejari

“Tidak habis pikir, mengapa majelis hakim tidak berani mengambil keputusan untuk memvonis bebas atau setidaknya mengikuti rekomendasi rehabilitasi. Padahal, proses asesmen sudah dijalankan sesuai prosedur,” ujar Yulia.

Dalam upaya membela kliennya, tim kuasa hukum, termasuk Suta Widhya SH, telah mengajukan berbagai surat ke instansi terkait, seperti BNN Provinsi DKI Jakarta, BNN Pusat, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, hingga Presiden Republik Indonesia.

Surat-surat tersebut berisi permohonan perlindungan hukum serta keberatan atas dakwaan dan tuntutan yang tidak memasukkan Pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai alternatif. Mereka juga melaporkan kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai keliru dalam menerapkan Pasal 114 (1) juncto Pasal 112 (1) terhadap kliennya.

BACA JUGA :  Mendagri: Pemda Harus Perkuat Koordinasi dan Persiapan PSU

“Saya awalnya berharap majelis hakim berani memvonis klien kami dengan hukuman 7 bulan, mengingat mereka bukan pengedar dan hanya memiliki 1 gram narkotika golongan I,” jelas Yulia.

Yulia menjelaskan bahwa, aturan yang mewajibkan izin dari Kementerian Kesehatan atau institusi terkait bagi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi sering kali tidak diketahui oleh para pecandu. “Hal ini menyebabkan maraknya perdagangan gelap narkotika yang justru tidak tersentuh hukum,” jelasnya.

Meski begitu, Yulia menekankan bahwa penyalahguna narkotika seharusnya ditempatkan dalam ranah rehabilitasi, bukan pidana penjara. Ia menyoroti kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti bagi tahanan kasus narkoba non-pengedar serta pernyataan Jaksa Agung yang menegaskan bahwa penyalahguna narkotika tidak boleh dipenjara.

BACA JUGA :  Memperkuat Kelembagaan BNN: Revisi Undang-Undang Narkotika untuk Penegakan Hukum yang Tegas

“Mestinya yang digunakan adalah undang-undang kesehatan, bukan pemidanaan. Mereka yang kecanduan membutuhkan perawatan, bukan hukuman penjara,” tegasnya.

Lantas, apakah putusan majelis hakim dalam perkara ini sudah sesuai dengan semangat UU Narkotika?. Secara hukum, hakim memang memiliki fleksibilitas dalam menjatuhkan vonis. Jika terdakwa terbukti sebagai pecandu atau korban, rehabilitasi lebih sesuai. Namun, jika terdakwa hanya pengguna biasa tanpa faktor ketergantungan, maka pemidanaan tetap sah secara hukum.

“Yang pasti, keadilan substantif harus menjadi pertimbangan utama, bukan hanya aspek formal dalam penerapan hukum,” kunci Yulia.