JAKARTA, INSERTRAKYAT.com,— Tepatnya sebuah kamar kecil di sudut Gandaria, seorang perempuan tua terbaring. Napasnya pelan. Matanya terbuka namun kosong. Di sebelah ranjang, tiga orang anak berdiri. Mereka bergantian menggenggam tangan yang dulu mengangkat mereka waktu kecil, tangan yang kini gemetar, kaku, dan tak lagi mampu memberi pelukan.

Tak ada banyak suara. Hanya ada harapan besar. Harapan agar negara tidak membiarkan ibu mereka sendiri dalam senyap usia tua. Harapan agar hukum bisa datang, sebelum semuanya terlambat.

Dan hukum pun datang.
Tanpa toga.
Tanpa palu.

Lengkap [Namanya], Saut Erwin H.A. Munthe. Seorang hakim perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi pagi itu, dia bukan hanya hakim. Ia adalah saksi. Seorang yang datang untuk menyaksikan bukan hanya kondisi hukum, tapi kondisi manusia.

Hakim yang mulia mendatangi langsung kediaman Ny. LK, perempuan tua yang dimohonkan untuk berada di bawah pengampuan. Usianya 90 tahun. Ia mengidap Pneumonia dan Demensia Stadium Lanjut. Ia tidak lagi mengenal siapa pun, termasuk anak-anaknya sendiri.

BACA JUGA :  Polres Aceh Selatan Fasilitasi Restorative Justice Kasus Penganiayaan Antar Warga

Anak-anak itu tidak menuntut. Mereka hanya memohon agar ibunya secara sah ditempatkan di bawah pengampuan. Agar mereka dapat terus merawat, menyembuhkan, dan mengurus hartanya yang masih tersangkut secara hukum, bukan untuk dibagi, tapi untuk digunakan demi sang ibu.

Pemeriksaan ini dikenal dalam hukum sebagai decente, pemeriksaan setempat. Namun bagi keluarga itu, hari itu bukan hanya istilah hukum. Itu adalah hari ketika hukum datang dan melihat langsung kenyataan.

Tidak ada pertanyaan panjang. Tidak ada sanggahan. Hanya diam. Hakim Saut berdiri di sisi ranjang. Ia menatap perempuan tua itu. Ia memahami lebih dari yang bisa dijelaskan dalam pasal-pasal hukum.

Dan dalam keheningan itu, satu kalimat terdengar dari sang anak dengan nada – senada, “Ampuni ibu saya, Pak Hakim,” tutur mereka, Jum’at, (13/6/2025) baru – baru ini.

BACA JUGA :  Satlantas Polres Aceh Selatan Serahkan Tersangka Kecelakaan Lalu Lintas ke Kejaksaan

Bukan ampunan dosa. Tapi permohonan perlindungan. Permohonan agar hukum mencatat bahwa sang ibu sudah tidak lagi sanggup berbicara, namun hak-haknya tetap ada, tetap sah, tetap dilindungi.

Kisah ini tidak spektakuler. Tidak menjadi berita utama. Tapi di ruang-ruang kecil seperti inilah wajah hukum diuji. Di mana hakim tak hanya bicara pasal, tapi bicara rasa.

Langkah ini sejalan dengan gagasan besar yang sebelumnya disampaikan Prof. Dr. Sunarto, orang nomor satu di Mahkamah Agung, melalui pidato ilmiahnya di Universitas Airlangga. Ia mengatakan: “Hakim bukan hanya corong undang-undang. Ia adalah penggali keadilan substantif,”

Hakim Saut menggali kebenaran bukan di ruang sidang, tetapi di ruang hidup. Ia melihat hukum bukan hanya sebagai alat negara, tapi sebagai pelindung bagi mereka yang tak lagi punya daya.

BACA JUGA :  BPKN Minta Perwakilan RI Fasilitasi Pemulangan Jenazah Jemaah Umroh Korban Kecelakaan

Beberapa hari kemudian, putusan dikeluarkan. Ny. LK sah ditempatkan di bawah pengampuan. Anak-anaknya menjadi pengampu. Mereka tidak bertepuk tangan. Tidak ada selebrasi.

Mereka hanya memeluk satu sama lain, dan pelan-pelan kembali merawat sang ibu seperti sebelumnya, dengan tenang. Karena kini, hukum telah melindunginya.

Berkaca pada realita ini, hukum bisa menyentuh yang individu yang lemah, bisa hadir menghangatkan dan bisa menjawab tangis yang tidak bersuara.

Kendati, ini bukan hanya tentang satu hakim dan satu keluarga. Tapi tentang kita semua [Indonesia], yang suatu hari akan menua, dan berharap ada tangan yang menjamin kita tetap berharga, meski kita tak lagi bisa mengatakannya sendiri.


Penulis : I Kadek Apdila Wirawan
Editor: Supriadi Buraerah, Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung (FORSIMEMA RI).