SINJAI, INSERT RAKYAT – Saat pemerintah pusat ramai bicara revolusi pertanian Nasional. Petani di Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, masih membajak sawah pakai sapi. Bantuan traktor dari Kementerian Pertanian, yang gembar-gembor dibagikan ke desa-desa, tak pernah singgah ke Dusun Batu Massompo, khusus kelompok Tani Batuolenge.
Muhammad Ansar, salah satu petani lokal, memulai harinya dengan tali kekang di tangan. Senin pagi, 8 Juli 2025, ia menggarap sawahnya secara tradisional. Tradisi ini dikenal masyarakat setempat sebuah “mangese” (membajak sawah -arti bahasa nasional,-red), sebuah warisan lama yang kini dipelihara bukan karena pilihan, melainkan karena keterpaksaan, lantaran perhatian Menteri Pertanian, Amran Sulaiman belum menyentuh.
“Iye, ini sawah saya di Batu Massompo. Tanggal 8 Juli saya mangese pakai sapi,” tutur Ansar kepada Insertrakyat.com, Rabu (10/7/2025) kemarin.
Lanjutnya, ia menilai traktor lebih serbaguna dibandingkan cultivator.
“Traktor bisa dipakai di sawah dan lahan kering, sedangkan cultivator hanya di tanah kering,” ujranya.
Menurutnya, traktor bisa membajak kebun sayur dan tembakau agar tanah lebih gembur. Ansar dan kelompoknya, Kelompok Tani Batuolenge, sudah berulang kali mengajukan proposal bantuan alat mesin pertanian (alsintan), termasuk traktor. Proposal itu diserahkan melalui Kantor Desa Barambang. Namun, hingga saat ini, bantuan tersebut tetap tak kunjung tiba.
“Kami sudah lama sekali ajukan proposal lewat kantor desa. Tapi tidak ada juga traktor sampai sekarang. Tetap pakai sapi,” tegas Ansar.
Petani Batu Massompo kecewa. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan proses distribusi bantuan. Proposal diajukan tapi kandas di pemerintahan, kemudian bantuan traktor tak pernah sampai.
Di atas tanah berlumpur, semangat petani bertahan dengan berharap ada perhatian negara. Mereka tetap menanam dan membajak sawah menggunakan ternak sapi, meski tahu mereka kalah cepat dengan waktu.
Namun Bagi Ansar, bertani dengan menggunakan sapi bukanlah hal memalukan tapi bagian dari budaya yang masih bertahan.
“Kalau ada traktor, waktu kerja bisa lebih cepat. Ini kami kerja dua kali lebih lama,” ujarnya sambil menatap hamparan sawahnya.
Yang lebih menyayat hati rakyat, dibalik gembar-gembor bantuan alsintan dari Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terus dikumandangkan lewat media nasional. Traktor dan cultivator disebut sudah disalurkan ke ribuan kelompok tani. Namun faktanya, di Barambang, bantuan itu hanya sebatas berita bagi mereka di Batu Masomppo.
Kelompok Tani Batuolenge seperti terlempar dari daftar prioritas. Pertanyaan paling telak: “Kenapa kami yang jelas-jelas bertani tidak pernah diberi?” masih Ansar.
Kuat dugaan, kata rakyat, distribusi bantuan pertanian mandek di tengah. Entah di desa, kecamatan, atau di kabupaten. Yang jelas, data kelompok tani yang betul-betul aktif seperti milik Ansar, seolah tidak dianggap.
Apakah karena tidak punya ‘kedekatan’?
Apakah karena tidak ada ‘biaya pelicin’?
Atau karena desa ini dianggap terlalu jauh dari pusat kekuasaan?
Dugaan publik tak bisa dihindari. Terlebih, DTPHP Sinjai, dinas yang mengurusi ketahanan pangan dan pertanian, sebelumnya pernah disorot dalam kasus yang kini mandek di Polres Sinjai.
Kendati pun, laporan penyaluran bantuan alsintan, keberhasilan bersinar hadapan Presiden Prabowo Subianto di Jakarta. Tapi di kaki-kaki gunung Sinjai Borong, bantuan itu tak pernah menjejak tanah. Traktor hanya sampai di kelompok yang dekat dengan DTPHP Sinjai melalui Ordal. Sementara petani-petani kecil, yang benar-benar menggarap tanah, tertinggal dalam daftar.
Padahal, faktanya, modernisasi pertanian tidak boleh jadi hak istimewa segelintir pihak. Semua petani, tanpa kecuali, berhak mendapat dukungan. Jangan biarkan jerih payah mereka hanya jadi latar belakang keberhasilan palsu para pejabat.
Sejak Senin hingga kini pihak terkait belum memberikan keterangan resminya.