Oleh: Dr. A.G. Socratez Yoman.
BACA SELENGKAPNYA: Rakyat Menanti Fakta Terbaru di Kasus Firli Bahuri
OPINI,– KONFLIK Papua Barat adalah luka lama yang belum sembuh. Luka itu kini menganga, bernanah, dan berpotensi menjadi krisis moral dan politik yang memalukan di hadapan bangsa-bangsa beradab. Presiden Prabowo Subianto, dengan karakter kepemimpinan yang tulus, tegas, dan tidak penuh kepura-puraan, memiliki kesempatan bersejarah untuk menyembuhkan luka ini, bukan dengan kekuatan militer, melainkan dengan pendekatan dialog dan rekonsiliasi yang sejati.
Saya hadir dalam sebuah ibadah syukuran atas terpilihnya Prabowo sebagai Presiden RI ke-8 di Swiss-Belexpress Jayapura pada 3 April 2025. Di sana saya sampaikan tiga pesan penting. Pertama, saya percaya pada ketulusan Prabowo. Kedua, saya minta agar operasi militer di Nduga dan Intan Jaya dihentikan. Dan ketiga, yang paling mendesak, saya mengusulkan agar Presiden Prabowo menunjuk Special Envoy, utusan khusus yang bertugas menjalin komunikasi damai dengan para pejuang Papua Barat merdeka dan seluruh elemen rakyat Papua yang selama ini merasa berbeda ideologi dengan negara.
Usulan ini bukan tanpa dasar. Konflik di Papua sudah berlangsung terlalu lama dan telah memunculkan penderitaan sistemik. LIPI (kini BRIN) bahkan sejak lama telah merumuskan akar persoalan Papua dalam empat poin:
1. Status politik integrasi Papua ke Indonesia
2. Kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat
3. Diskriminasi dan marjinalisasi terhadap Orang Asli Papua
4. Kegagalan pembangunan di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
Para pemikir dan tokoh nasional juga sudah sejak lama mengangkat suara. Prof. Franz Magnis-Suseno menggambarkan Papua sebagai “luka membusuk” yang ditutupi dari mata dunia. Pastor Frans Lieshout, OFM, menegaskan bahwa pendekatan militeristik terhadap Papua adalah kutukan moral bagi bangsa. Dr. Anti Solaiman menyebut generasi tua hingga cucu kini menanggung trauma kolektif yang belum terselesaikan. Dan Ketua PGI, Pdt. Gomar Gultom, menyebutnya sebagai luka bernanah yang belum kering, namun terus ditumpuk luka baru.
Senator Aceh Fachrul Razi bahkan berani menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat memang nyata terjadi dan Otonomi Khusus hanyalah janji yang ujung-ujungnya “tipu-tipu”.
Semua ini menunjukkan bahwa Papua bukan sekadar isu pembangunan atau keamanan. Papua adalah soal keadilan, pengakuan martabat, dan pengembalian harapan bagi sebuah bangsa yang telah lama merasa ditinggalkan.
Maka, sudah saatnya Presiden Prabowo menunjuk utusan khusus untuk Papua Barat. Seseorang yang memahami sensitivitas konflik, dihormati oleh kedua belah pihak, dan mampu menjadi jembatan antara suara rakyat Papua dan negara. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan kebesaran jiwa seorang pemimpin yang ingin menyatukan, bukan menundukkan.
Papua butuh jalan damai. Indonesia butuh keberanian moral. Dan Prabowo, dalam periode awal kepemimpinannya, punya peluang emas untuk menulis sejarah baru: membuka lembaran damai bagi Papua Barat.
Berkontribusi dalam artikel ini adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) & Anggota Baptist World Alliance (BWA).