JAKARTA, INSERTRAKYAT.COM – Guru Besar Hukum sekaligus Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, Prof. Dr. Binsar Gultom, S.H., S.E., M.H., mengkritisi aturan pidana mati dalam KUHP baru, khususnya Pasal 100 ayat 1 yang memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati. Menurutnya, aturan ini masih menyisakan banyak ambiguitas yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Dalam KUHP baru, hukuman mati bisa dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun, asalkan terpidana menunjukkan penyesalan dan ada harapan untuk berubah. Tapi pertanyaannya, bagaimana hakim bisa memastikan seseorang benar-benar menyesal dan bisa berubah dalam kurun waktu itu?” ujar Prof. Binsar dalam wawancara eksklusif dengan Ketua Umum Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung Republik Indonesia (FORSIMEMA-RI), Syamsul Bahri sekaligus jaringan INSERTRAKYAT.COM, pada Kamis, 6 Maret 2025.
Profesor Binsar menyoroti mekanisme evaluasi terhadap terpidana selama masa percobaan. Ia mempertanyakan apakah selama 10 tahun itu terpidana tetap berada di dalam lembaga pemasyarakatan atau mendapatkan kebebasan bersyarat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Biasanya, masa percobaan diberikan untuk hukuman yang lebih ringan. Tapi dalam konteks hukuman mati, bagaimana bisa dipastikan seseorang berubah jika ia tetap di dalam penjara dan tidak diuji langsung di masyarakat?” katanya.
Ia juga mengkritisi keputusan hakim yang harus memproyeksikan masa depan terdakwa hanya berdasarkan fakta di persidangan.
“Hakim hanya bisa menilai dari fakta yang ada saat itu. Bahkan dalam agama pun, menilai hati seseorang bukanlah perkara mudah,” tambahnya.
Profesor Binsar juga menyoroti intervensi pemerintah dalam eksekusi pidana mati. Menurutnya, jika grasi sudah ditolak oleh presiden, maka eksekusi seharusnya segera dilakukan tanpa perlu menunggu 10 tahun lagi.
“Jika grasi sudah ditolak, kenapa harus menunggu? Ini bisa membuka celah bagi intervensi politik dan semakin memperpanjang ketidakpastian hukum,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa tidak semua kasus pembunuhan berencana harus berujung pada hukuman mati. Ia merujuk pada Pasal 55 KUHP yang mengatur peran intelektual dalam tindak pidana.
“Kalau seseorang hanya menjalankan perintah atau dalam kondisi terpaksa, apakah pantas dihukum mati? Banyak faktor yang harus dipertimbangkan,” jelasnya.
Butuh Kajian Lebih Mendalam
Dalam perbandingannya dengan KUHP lama, ia menilai bahwa aturan baru ini justru menimbulkan ambiguitas. Pasal 100 hingga Pasal 102 KUHP, menurutnya, perlu dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan kebingungan dalam implementasinya.
“Kalau seseorang divonis mati, eksekusi harus dilakukan tanpa masa percobaan yang panjang. Tapi jika ada harapan untuk berubah, lebih baik langsung dijatuhi hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara,” pungkasnya.
Dengan adanya polemik ini, diharapkan pemerintah dan para pemangku kebijakan dapat meninjau kembali aturan dalam KUHP baru agar keadilan tetap ditegakkan tanpa menimbulkan kebingungan di lapangan.
Penulis : Syamsul Bahri
Editor : Bahtiar