POSO, INSERTRAKYAT.com —
Wajah Keadilan di negeri ini kembali kontras bagai dua sisi. Di satu sisi, rakyat kecil di pelosok Poso, Sulawesi Tengah, dihukum dengan cepat seratus kali lipat lebih cepat dari Penuntasan kasus Firli Bahuri.
Di sisi lain, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri masih menikmati udara bebas, meski telah lama berstatus tersangka kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Sebuah potret hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas, sekaligus menampar nurani publik yang masih percaya bahwa hukum bisa tegak berdiri tanpa membungkuk pada kekuasaan.
Pengadilan Negeri Poso, Sulawesi Tengah, menjadi saksi sekaligus hakim di sana Mengadili terdakwa dalam kasus sengketa buah sawit. Hukum bisa ditegakkan tanpa basa-basi.
Pada Jumat, 24 Oktober 2025, majelis hakim menjatuhkan putusan perkara 288/Pid.B/2025/PN Pso terhadap terdakwa Jemi Mamma, petani yang didakwa melanggar Pasal 107 huruf (d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Jemi terbukti memanen hasil kebun sawit milik PT Nusamas Griya Lestari (PT NGL) di Divisi II Blok H 56 Desa Peleru, Kecamatan Mori Utara, Morowali Utara, tanpa izin perusahaan. Lahan itu sebelumnya telah mereka serahkan kepada perusahaan.

Namun, yang menarik bukanlah beratnya hukuman, melainkan kebijaksanaan putusan. Majelis hakim memutuskan pidana denda Rp1.000.000 saja.
Ringan, tapi bermakna.
Putusan itu menggambarkan bahwa keadilan tidak harus keras, melainkan harus tepat sasaran dan tidak pandang bulu.
Hakim Muamar Azmar Mahmud Farig bersama dua rekannya menilai perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Namun, majelis juga memahami bahwa tindakannya lahir dari kekecewaan atas ketimpangan kemitraan, bukan dari niat jahat.
Kasus Jemi Mamma selesai dalam hitungan bulan.
Tanpa penundaan.
Tanpa alasan administratif yang berbelit.
Penegakan hukum berjalan transparan, objektif, dan menyentuh rasa keadilan.
Hakim dalam pertimbangannya menyebut bahwa forum pidana tidak berwenang menilai kepemilikan tanah.
Mereka fokus pada perbuatan hukum, bukan sengketa hak.
Putusan itu menegaskan bahwa peradilan pidana bukan alat menindas masyarakat, tetapi ruang mendidik agar hukum dihormati.
Barang bukti dihadirkan lengkap.
Surat HGU, izin usaha, bukti serah terima tanah, hingga tangkapan layar komunikasi antara petani dan perusahaan.
Semuanya diuji di ruang sidang.
Semua pihak didengar.
Itulah wajah hukum yang sehat.
Cepat, sederhana, dan berkeadilan.
Namun bandingkan dengan kasus Firli Bahuri, mantan pimpinan lembaga anti rasuah yang ironisnya kini berstatus tersangka tanpa ditahan.
Sejak 22 November 2023, Firli ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan pemerasan terhadap SYL, saat SYL masih menjabat sebagai Menteri Pertanian.
Namun hingga kini, publik masih bertanya, mengapa proses hukumnya seolah mandek di tempat.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak, pernah menegaskan bahwa penyidik telah melakukan berbagai upaya paksa untuk kepentingan penyidikan.
Namun yang tampak justru stagnasi.
Firli tetap melenggang bebas, seolah waktu bisa menenangkan pasal-pasal yang menjeratnya.
Firli tercatat tiga kali mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan pertama ditolak, yang kedua dicabut, dan yang ketiga diajukan ulang pada 12 Maret 2025.
Humas PN Jakarta Selatan membenarkan adanya gugatan baru atas nama Komjen (Purn) Firli Bahuri dengan termohon Polda Metro Jaya.
Sidang bahkan sempat dijadwalkan pada Rabu, 19 Maret 2025, dipimpin hakim tunggal Parulian Manik, SH, MH.
Namun, seperti biasa, Firli kembali mencabut gugatannya.
Alasannya “masih perlu perbaikan dokumen” dan “bertepatan dengan bulan Ramadan”.
Alasan yang terdengar lembut, tetapi tak menghapus kesan bahwa praperadilan hanya dijadikan taktik menunda langkah hukum.
Padahal rakyat kecil seperti Jemi Mamma di Poso tidak punya kemewahan untuk mencabut perkara.
Mereka hanya punya pilihan tunduk pada hukum.
Firli sebaliknya, justru mempermainkan hukum.
Jika, kasus Jemi Mamma disidangkan cepat, dituntut cepat, diputus cepat.
Sementara Firli Bahuri, dengan segala jejak jabatan dan pengaruhnya, seperti diberi ruang untuk menunggu kasusnya redup.
Hukum, seharusnya, tidak mengenal kasta sosial.
Namun praktiknya, rakyat kecil menghadapi ketegasan hukum, sedangkan pejabat menikmati kelonggaran prosedural.
Keadilan tak boleh seperti kain elastis yang bisa ditarik sesuka hati kekuasaan.
Jika hukum bisa cepat terhadap petani, mengapa tidak terhadap mantan Ketua KPK?
Firli Bahuri dulu dikenal sebagai simbol integritas di lembaga anti korupsi.
Ia pernah berdiri di barisan paling depan dalam menindak pejabat korup.
Namun kini, sejarah berbalik arah.
Namanya justru tercatat sebagai tersangka gratifikasi, pemerasan, dan pelanggaran etik berat.
Kasus ini menunjukkan realita pahit di mata rakyat Indonesia.
orang yang pernah menegakkan hukum kini justru diduga menginjak prinsip hukum itu sendiri.
Yang lebih menyediakan, negara seperti kehilangan nyali untuk menegakkan pasal terhadap orang yang pernah berada di singgasana kekuasaan moral.
Sementara keadilan untuk rakyat kecil ditegakkan dengan tegas tanpa kompromi.
Publik sudah lelah menunggu.
Sudah terlalu banyak pernyataan normatif.
Yang ditunggu hanyalah tindakan sesuai dengan UU dan penuntutan, penahanan, dan proses pengadilan yang terbuka.
Pernyataan “penyidikan masih berjalan” tidak lagi menenangkan.
Karena di mata publik, hukum yang tidak segera menindak menjadi hukum yang kehilangan wibawa.
Kasus Firli Bahuri memantul dilema besar bangsa ini, apakah hukum berani menyentuh orang yang pernah memegang kekuasaan.
Ataukah hukum hanya alat penakluk bagi rakyat kecil yang tak punya daya tawar. Buka mata Presiden dan berikan pertanyaan terkait dengan kasus ini.
Demokrasi yang merujuk pada konsep rakyat dan pemerintah, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu presiden diberikan kewenangan melayani rakyat termasuk dalam mengukur kinerja para petinggi publik merah putih — polri.
Masyarakat Indonesia sudah paham, hukum tidak selalu berarti keadilan.
Namun bila perbedaan perlakuan sudah terlalu jauh, kepercayaan publik bisa runtuh.
Dalam kasus Firli, waktu seolah berhenti.
Sedangkan dalam kasus Jemi, hukum bergerak cepat tanpa ragu.
Keduanya sama-sama warga negara.
Namun yang satu disidang terbuka, yang satu seperti disembunyikan di balik pintu birokrasi yang berkedudukan di negara demokrasi.
Itulah yang disebut oleh para akademisi dan aktivis, [realita] “krisis legitimasi penegakan hukum”.
Ketika rakyat mulai merasa hukum bukan lagi pelindung, tetapi beban yang hanya memihak kepada mereka yang kuat. Maka program gratis pun terasa hambar di lidah rakyat.
Pada dasarnya, Hakim di Poso Mengajarkan Etika, Penegak Hukum di Jakarta Mengajarkan Penundaan
Dimana Majelis Hakim di Poso menunjukkan bahwa hukum tidak perlu panggung.
Ia bekerja dalam kedaulatan keadilan, tapi hasilnya terasa dan tuntas.
Sebuah denda satu juta rupiah memberi pelajaran tentang kepatuhan, bukan penderitaan. Meskipun sebenarnya, jika ditarik dari belakang, persoalan itu dapat diselesaikan melalui Restorative Justice sebelum melaju ke meja hakim.
Sementara penegakan hukum terhadap Firli Bahuri di Jakarta justru mencerminkan betapa sulitnya hukum menembus tembok kekuasaan.
Hukum di ibu kota terkesan sibuk mencari alasan, bukan mencari kebenaran.
Perbandingan ini menusuk renungan rakyat.
Bagaimana mungkin aparat hukum bisa begitu cepat dalam perkara petani di Morowali Utara, tetapi berjalan lambat terhadap mantan pejabat tinggi negara.
Di era digital yang serba terbuka, setiap langkah penegakan hukum akan diuji oleh publik.
Penundaan hanya menambah kecurigaan.
Karena itu, keterbukaan proses hukum menjadi penyubur dalam menjaga kepercayaan rakyat dan publik.
Firli Bahuri seharusnya menjadi contoh bagaimana seorang tersangka kooperatif menghadapi hukum.
Namun kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Ia seolah berupaya memanfaatkan setiap celah prosedural untuk menunda, bahkan bahkan sempat bolak – balik mengajukan prapadilan di PN Jaksel.
Hukum yang baik tidak boleh bernegosiasi dengan waktu.
Hukum itu harus bekerja pasti, tidak peduli siapa yang berdiri di hadapannya termasuk beking dibelakangnya.
Kasus di PN Poso memberi pesan moral kuat, keadilan bukan soal besar kecilnya kasus, tapi seberapa besar nurani yang digunakan hakim.
Putusan satu juta rupiah mungkin kecil, tapi dampaknya besar.
Ia menunjukkan bahwa hukum tidak kehilangan hati.
Sementara di Jakarta, kasus Firli menunjukkan bahwa hukum kehilangan keberanian.
Rakyat melihat, menilai, dan merekam.
Mereka tahu siapa yang bekerja untuk hukum, dan siapa yang mempermainkan hukum.
Makna hukum sejati adalah hukum yang berani menegakkan keadilan bahkan terhadap mereka yang pernah menegakkan hukum itu sendiri.
Hukum tidak boleh tunduk pada nama besar. Karena begitu hukum tunduk, maka keadilan mati suri sebelum menyala.
Firli Bahuri hanyalah sepotong bukti dari sekian banyak kasus di mana proses hukum kehilangan kecepatan ketika menyentuh kalangan elite.
Dan catatan hukum untuk rakyat kecil seperti Jemi Mamma adalah sejarah bahwa hukum bisa berjalan cepat bila tak ada kepentingan yang menahannya.
Negara hukum sejati tidak diukur dari seberapa banyak undang-undang yang dimiliki, tetapi seberapa adil undang-undang itu dijalankan.
Selama hukum masih membedakan antara rakyat biasa dan pejabat/mantan tinggi, maka keadilan belum benar-benar hidup di Indonesia.
Kasus Firli Bahuri dan kasus Jemi Mamma seolah menjadi dua sisi cermin bangsa bertajuk kata Bagus dari dua arah.
Yang satu menunjukkan keberanian menegakkan hukum,
yang satu menunjukkan keberanian mengulur waktu.
Rakyat tidak meminta keadilan istimewa.
Mereka hanya ingin hukum ditegakkan setara, tanpa pandang jabatan, seragam, atau status sosial.
Firli Bahuri mungkin akan terus mencari celah hukum, tapi sejarah tak akan lupa mencatat, bahwa di tengah kelambanan penegakan hukum di Jakarta, ada sebuah pengadilan kecil di Poso yang menunjukkan kepada bangsa ini bagaimana hukum seharusnya bekerja cepat, adil, dan bermartabat.
Penulis : Supriadi Buraerah Anggota Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung FORSIMEMA RI/1Tulisan Indonesia Timur.














































