JAKARTA, INSERTRAKYAT.com — Di suatu momen di TPU Karet, Jakarta Selatan, langkah-langkah para penyair dan kritikus sastra terdengar pelan, membawa doa, kenangan, dan kata-kata yang pernah mengubah arah puisi Indonesia. Senin sore, 28 April 2025, Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) kembali menjalankan tradisi tahunannya, ziarah ke tempat peristirahatan “makam” Pujangga Besar Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45 dan peletak dasar Puisi Modern Indonesia.
“Pada Senin sore itu, kami hadir bersama untuk berdoa, membaca puisi, dan berdiskusi,” ujar Moktavianus Masheka—Bung Octa—Ketua TISI, di Jakarta, Minggu (4/5/2025).
Ziarah kali ini kembali dihadiri oleh Evawani Alissa Chairil Anwar, SH—puteri tunggal sang penyair. Meski telah beberapa tahun terakhir duduk di kursi roda, Bu Eva datang dengan semangat yang tak pernah pudar.
“Beliau tetap hadir, tetap semangat,” kata Bung Octa yang juga dikenal sebagai penyair dan penggerak acara baca puisi di ruang publik.
Bu Eva bahkan membawa makanan dan minuman di bagasi mobilnya, dibagikan untuk semua yang hadir sebelum acara dimulai. Di bawah teduh pepohonan, obrolan ringan bercampur kenangan mengalir hangat.
Deretan nama yang hadir di makam ini mencerminkan lintas generasi sastra: Maman S Mahayana, Aloysius Slamet Widodo, Nanang Ribut Supriyatin, Jose Rizal Manua, Sofyan RH Zaid, Imam Ma’arif, Giyanto Subagio (Edo), Ewith Bahar, Dyah Kencono Puspito Dewi, Mita Katoyo, Ikhsan Risfandi, Yon Bayu Wahyono, Boyke Sulaiman, dan Adi—seorang pengacara yang kini ikut mengawal gerakan moral untuk Chairil.
Beberapa penyair membacakan karya Chairil di hadapan Bu Eva—puisi-puisi yang membuatnya berkaca-kaca. Ia teringat pesan sang ayah: “Panggil aku Chairil Anwar, bukan ayah.” Pesan itu bukan sekadar unik, tapi seakan menegaskan bahwa warisan Chairil adalah untuk semua, bukan hanya untuk keluarga.
Di area makam, diskusi dipandu Sofyan RH Zaid dan Ewith Bahar. Gagasan Maman S Mahayana tahun lalu kembali dihidupkan: membangun karya monumental untuk mengenang Chairil Anwar. Tim sudah terbentuk, melibatkan penyair, arsitek, dan pengacara, termasuk menantu Bu Eva.
TISI sepakat bahwa ini bukan sekadar peringatan, melainkan gerakan moral. Di tengah derasnya arus budaya instan, Chairil mengingatkan: satu kata yang lahir dari keberanian akan lebih abadi daripada seribu kata tanpa jiwa.
“Sekali berarti, sudah itu mati,” kutipan Chairil yang diucapkan Bung Octa, terasa hidup kembali. Dari pusara yang sederhana, semangatnya mengalir ke seluruh Nusantara.
Ziarah ini bukan akhir, melainkan awal dari panggilan nasional, menjaga sastra sebagai denyut kebudayaan, memastikan api Chairil tak padam, dan menjadikan kata-kata sebagai bagian dari perjuangan bangsa.
Di antara doa, puisi, dan air mata, api itu kembali berkobar—membawa gema dari makam sunyi menuju jiwa-jiwa yang mencintai Indonesia.
Penulis : Miftahul Jannah |Editor: Isma









































