MAKASSAR, INSERTRAKYAT.com — Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah capaian besar yang pantas dirayakan. Namun, kemerdekaan juga harus menjadi pengingat penting: persatuan bangsa tidak akan kokoh bila kepastian dan keadilan belum sungguh-sungguh dirasakan rakyat di daerah.

Data BPS 2024 mencatat angka kemiskinan nasional masih berada di 9,4%. Di Sulawesi Selatan, angkanya sedikit lebih rendah, yakni 8,9%. Meski begitu, jurang antara kota dan desa tetap lebar. Kedalaman kemiskinan di pedesaan tercatat dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Fakta ini menunjukkan masyarakat desa masih menanggung beban berat meski rata-rata angka kemiskinan terlihat menurun.

Di sektor pendidikan, tantangannya juga tidak kalah serius. Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 16–18 tahun di Sulsel baru mencapai 73%. Artinya, ribuan remaja di kabupaten seperti Sinjai, Jeneponto, dan Luwu masih berpotensi putus sekolah. Padahal, generasi muda inilah yang seharusnya menopang cita-cita Indonesia Emas 2045. Tanpa akses pendidikan setara, sulit membayangkan lahirnya sumber daya manusia tangguh dari daerah.

BACA JUGA :  KPK Edukasi Siswa SMPIT Al Mubarak untuk Mencegah Korupsi Sejak Dini

Di bidang layanan publik, data Kementerian PU-PR menunjukkan akses air minum layak di Sulsel baru dinikmati sekitar 80% rumah tangga, masih jauh dari target nasional 100% pada 2030. Internet, yang kini menjadi kebutuhan dasar, baru menjangkau 68% penduduk. Kesenjangan pun jelas: di kota, layanan internet relatif mudah, sementara di desa aksesnya terbatas dan mahal. Kondisi ini memperlihatkan daerah masih tertatih ketika pusat berbicara tentang transformasi digital dan lompatan teknologi.

BACA JUGA :  BNN Ungkap Narkoba Senilai Rp1 Triliun, Kemensos Beri Sinyal Manis

Persoalan tidak hanya datang dari pusat, melainkan juga dari daerah. Banyak anggaran pembangunan masih habis untuk belanja rutin birokrasi ketimbang layanan publik. Di sejumlah kabupaten, konflik lahan dan tata kelola sumber daya alam terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang adil. Saat pusat lamban dan daerah lemah, masyarakatlah yang akhirnya menanggung beban ganda.

Karena itu, kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum koreksi besar. Pemerintah pusat dituntut lebih serius menjadikan daerah sebagai prioritas pembangunan, bukan hanya objek proyek seremonial. Pada saat yang sama, pemerintah daerah wajib berani keluar dari zona nyaman birokrasi dan benar-benar hadir melayani rakyat.

Persatuan bangsa tidak lahir dari slogan, melainkan dari kepastian dan keadilan nyata di pelosok negeri. Keadilan dalam akses pendidikan, kepastian dalam layanan publik, dan kesetaraan dalam pembangunan harus dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.

BACA JUGA :  Suara Wamen PU Ditengah Bencana Banjir Cianjur

Rahim, aktivis lokal asal Sulawesi Selatan, [saya percaya] hanya dengan keberanian pusat dan daerah menutup jurang ketidakadilan, persatuan akan menjadi kenyataan, bukan sekadar simbol di atas kertas. Inilah ujian sejati bagi bangsa yang telah delapan dekade merdeka, apakah kita sungguh-sungguh berdaulat dan adil, atau sekadar merayakan kemerdekaan dalam upacara tahunan. Kini era Asta Cita Presiden Prabowo, rakyat pun mendukung persatuan dalam menyongsong Indonesia Emas.


17 Agustus 2025. Oleh: Rahim, Aktivis – Mahasiswa UIN Makassar.