Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, (Menko Polkam),Jenderal Polisi (Purn.) Budi Gunawan memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung RI. Sumber Foto: Kemenkopolkam).


JAKARTA, INSERTRAKYAT.COM —
Langit penegakan hukum Indonesia kembali menunjukkan terang. Kali ini datang dari keberanian institusi Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam menyita uang negara sebesar Rp11,8 triliun. Jumlah fantastis itu disita dari saku lima anak perusahaan Wilmar Group. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, (Menko Polkam), Jenderal Polisi (Purn.) Budi Gunawan memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung RI atas prestasi penegakan hukum tersebut.

Wilmar group terseret dalam perkara dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya.

Menko Polkam, Budi Gunawan, dalam keterangannya di Jakarta, ia menyebut tindakan Kejaksaan Agung sebagai penjaga martabat hukum dan keuangan negara. “Langkah progresif Kejaksaan Agung ini patut diapresiasi,” Jelas Budi Gunawan melalui siaran pers Humas Kemenko Polhukam, No.108/SP/ HM.01.02/POLKAM/6/2025, yang diterima redaksi Insertrakyat.com, pada Kamis, (19/6/2025).

Wilmar Group bukan nama kecil di industri sawit. Namun, fakta bahwa lima anak perusahaannya mengembalikan dana negara senilai triliunan rupiah, menjadi indikator bahwa kekuasaan hukum masih berdiri tegak. “Penanganan kasus ini menjadi contoh bagaimana hukum ditegakkan tanpa diskriminasi. Pemerintah akan terus mengawal proses ini sampai tuntas,” tegasnya.

BACA JUGA :  55 Tahun Harli Siregar, Tegas nan Bersahaja di Garda Depan Komunikasi Kejaksaan Agung RI

Selain memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung, Budi Gunawan tak lupa memberi apresiasi khusus kepada Desk Tindak Pidana Korupsi dan Tata Kelola Pemerintahan yang berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Menurutnya, kerja kolaboratif antara desk tersebut dengan aparat penegak hukum mempercepat pengungkapan perkara dan mendorong transparansi dalam tata kelola pemerintahan.

Uang yang berhasil dikembalikan dan kemudian disita oleh Kejaksaan Agung nilainya mencapai Rp11.880.351.802.619. Dana tersebut berasal dari lima anak perusahaan Wilmar Group, masing-masing:

PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3.997.042.917.832,42

PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94

PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33

PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64

PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78

Jumlah tersebut diperoleh dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta kajian Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM). Audit itu menghitung kerugian keuangan negara, dan keuntungan ilegal serta dampak ekonomi makro yang ditimbulkan akibat korupsi ekspor CPO.

BACA JUGA :  Kejari Kendari Geledah Kantor POS, Tikus Berdasi Belum Ditemukan

Meski uang telah dikembalikan ke rekening penampungan Kejaksaan Agung di Bank Mandiri, proses hukum tidak lantas berhenti. Para terdakwa korporasi masih menjalani proses kasasi di Mahkamah Agung. Mereka sebelumnya dinyatakan lepas dari tuntutan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.

Namun, Jaksa Penuntut Umum tidak menyerah. Mereka mengajukan kasasi dan menjadikan pengembalian uang sebagai bagian dari memori kasasi. Penyitaan uang dilakukan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Juni 2025.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Dr. Harli Siregar, menegaskan bahwa penyitaan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana. Dana yang telah dikembalikan disita secara sah untuk menjadi alat pembuktian dan kompensasi kerugian negara.

“Penyitaan ini untuk memperkuat memori kasasi dan menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam,” kata Harli. Sebelumnya Kejaksaan Agung telah mengumumkan penyitaan uang tersebut melalui konferensi pers di Kejagung, Selasa (17/6/2025).

Kelima korporasi tersebut dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, digunakan juga Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai dasar dakwaan.

BACA JUGA :  Buntut OTT KPK, Menteri PU Evaluasi Total Jajaran : Tekan Beban Ekonomi Berbiaya Tinggi

Pasal-pasal tersebut mengatur pelaku tindak pidana korupsi yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta menyebabkan kerugian keuangan negara. Dalam konteks korporasi, pasal ini digunakan untuk menjerat entitas hukum sebagai pelaku, bukan hanya individu.

“Tindakan korporasi pada kasus ini telah menguntungkan perusahaan secara tidak sah melalui kelonggaran fasilitas ekspor yang tidak sepatutnya mereka terima,” kata Dr Harli.

“Pengembalian ini bukan berarti para korporasi bebas dari jerat hukum. Justru menjadi bahan penilaian apakah mereka bertanggung jawab atau sekadar mencari keringanan,” tegas Harli.

Lanjutannya, Memori kasasi yang telah diajukan pun mencantumkan secara rinci nilai uang dan keterkaitannya dengan setiap terdakwa. Harapannya, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan hal ini dalam menjatuhkan putusan yang tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga menyelamatkan hak ekonomi publik.


Laporan: Miftahul Jannah
Editor : Supriadi Buraerah