(Amrullah/Foto)


SINJAI, INSER RAKYAT,SENSUS EKONOMI 2026 (SE26) merupakan hajatan nasional yang menjadi tiang utama dalam menopang pembangunan ekonomi Indonesia, masa depan. Di tengah upaya pemerintah menggenjot ekonomi digital, memberdayakan UMKM, serta memetakan potensi hijau dan biru, peran data mikro menjadi sangat penting.

Namun, di balik kebutuhan strategis tersebut, mengemuka pertanyaan besar yang wajib dijawab secara serius; Bagaimana menjamin keamanan dan privasi data warga serta pelaku usaha yang menjadi responden?

Privasi data bukan semata-mata soal akses terbatas terhadap informasi, melainkan komitmen jangka panjang terhadap etika, perlindungan hak sipil, serta kepercayaan publik terhadap institusi negara. Tanpa jaminan perlindungan data, partisipasi sukarela tidak akan terjadi. Tanpa partisipasi, kualitas data akan merosot.

Tulisan ini membahas esensi perlindungan privasi dalam SE26 serta cara membangun sistem pelindung data yang beretika dan berbasis teknologi.

Peretasan dan Krisis kepercayaan digital, beberapa bulan terakhir, sejumlah situs pemerintahan Indonesia mengalami peretasan yang mencemaskan. Pada April 2025, situs resmi Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan diretas oleh kelompok internasional.

Kebocoran tersebut mencakup data pribadi seperti nama, nomor identitas, tempat tinggal, riwayat penerima bantuan sosial, dan catatan vaksinasi. Dokumen rahasia tentang anggaran di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga sempat dicuri, dan sistemnya terganggu oleh serangan peretas luar negeri.

Peristiwa ini menandakan sistem keamanan siber pemerintah belum siap menghadapi ancaman berskala besar. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 300 juta anomali trafik internet terhadap sistem pemerintahan selama kuartal I-2025, naik 15% dibanding kuartal IV-2024.

Peningkatan ini menunjukkan bahwa serangan digital cenderung meningkat dan menyasar sektor publik secara sistematis. Lemahnya sistem keamanan siber meruntuhkan kepercayaan publik. Jika masyarakat merasa data mereka tidak aman di tangan negara, maka penolakan terhadap program pengumpulan data, termasuk SE26, akan meningkat.

Implikasi Peretasan terhadap SE26
jika peretasan semacam itu terjadi saat SE26 berlangsung, dampaknya akan sangat serius. Pertama, bisa terjadi kebocoran besar data pelaku usaha, termasuk UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional.

BACA JUGA :  BPS Sinjai Matangkan Persiapan Sensus Ekonomi 2026: Membangun Indonesia dari Data Akurat

Kedua, citra Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga statistik nasional bisa runtuh dalam hitungan hari. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap seluruh program statistik dan survei lain turut terancam.

Indonesia melalui SE26 akan mendata lebih dari 30 juta usaha di seluruh tanah air. Bila data ini jatuh ke tangan yang salah, pelaku usaha bisa menjadi korban pemerasan berbasis data, penipuan, pencurian identitas usaha, eksploitasi informasi oleh pesaing yang tidak etis, hingga penyalahgunaan oleh entitas politik dan komersial.

Kasus semacam ini bukan imajinasi, namun, telah terjadi di sektor lain dan bisa terulang jika tidak diantisipasi.

Reformasi Perlindungan Data Nasional
SE26 harus menjadikan reformasi perlindungan data di sektor publik. Pemerintah tidak boleh memperlakukan kasus peretasan sebagai insiden terpisah, melainkan sebagai panggilan untuk bertindak secara menyeluruh.

Empat pendekatan perlu diterapkan. Pertama, integrasi sistem keamanan siber antara BPS, BSSN, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan sistem tanggung jawab bersama, bukan sekadar koordinasi.

Kedua, penerapan sistem deteksi gangguan dengan peringatan dini berbasis kecerdasan buatan, yang mampu memantau anomali data selama sensus berlangsung.

Ketiga, pelaksanaan uji coba simulasi peretasan (penetration test) sebelum sensus dimulai, dengan melibatkan pakar independen. Keempat, penerapan protokol keterbukaan publik dalam menangani insiden keamanan data.

Jika terjadi gangguan atau kebocoran, BPS harus siap dengan komunikasi terbuka yang transparan mengenai tingkat risiko dan langkah mitigasi yang telah diambil.

Peningkatan Literasi Keamanan Data
Pengetahuan publik tentang keamanan data di Indonesia masih tergolong rendah. Survei Katadata Insight Center (2024) mencatat hanya 24% responden dewasa yang memahami bagaimana data mereka dikumpulkan, digunakan, dan dilindungi oleh instansi pemerintah.

Padahal, tingkat partisipasi sangat bergantung pada pemahaman ini. Oleh karena itu, pendidikan publik harus menjadi bagian integral dari strategi komunikasi sensus ekonomi.

BPS dapat melakukan tiga pendekatan utama: Pertama, kampanye media sosial tentang data statistik dan cara pengelolaannya. Kedua, penyediaan infografis edukatif mengenai keamanan dan enkripsi data.

Ketiga, kemitraan dengan kampus, sekolah, dan pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan statistik dan pelatihan perlindungan data. Meningkatkan literasi publik adalah langkah yang sangat mapan dalam meningkatkan kualitas data dan respons.

BACA JUGA :  BPS Sinjai Matangkan Persiapan Sensus Ekonomi 2026: Membangun Indonesia dari Data Akurat

Lembaga Statistik Jadi Pengurus Data
Tantangan privasi saat ini membutuhkan redefinisi terhadap peran lembaga statistik. Dari sekadar pengumpul data, menjadi pengelola sekaligus pelindung data nasional yang andal dan bertanggung jawab.

Pendekatan ini bertumpu pada tiga prinsip utama: pertama, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran data; kedua, bagaimana masyarakat mengetahui alur data mereka; dan ketiga, apakah individu memiliki hak untuk meminta penghapusan datanya dari sistem.

BPS dan pemerintah harus mulai menyusun kebijakan menuju prinsip-prinsip tersebut. Indonesia harus beradab dalam mengelola data besar dan menjadi contoh di tingkat global.

Belajar dari Negara Lain
Isu privasi data bukan hanya milik Indonesia. Negara-negara maju juga pernah mengalami dilema serupa.

Biro Sensus Amerika Serikat mulai menerapkan metode differential privacy sejak sensus 2020. Teknik ini menambahkan gangguan matematis pada data mikro, sehingga data tetap bisa dianalisis tanpa membocorkan identitas individu.

Uni Eropa melalui General Data Protection Regulation (GDPR) mewajibkan semua lembaga publik dan swasta menerapkan prinsip kerahasiaan sejak awal perencanaan, serta memberikan hak bagi responden untuk dilupakan atau meminta penghapusan data.

Kanada melalui lembaga statistiknya menerapkan prinsip trusted access, yakni hanya peneliti resmi yang dapat mengakses data rinci dan seluruh akses tercatat untuk keperluan audit dan akuntabilitas.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kombinasi prinsip-prinsip terbaik tersebut: keamanan teknologi, perlindungan hukum, serta pengawasan ketat berbasis izin.

Solusi Teknis dalam menyongsong SE26, BPS perlu membangun sistem perlindungan data yang tangguh. Sistem ini dapat terdiri dari lima komponen utama:

Pertama, enkripsi menyeluruh terhadap semua data, baik saat dikirim maupun disimpan. Kedua, pengaturan akses berlapis, yang hanya memperbolehkan petugas tertentu untuk mengakses data sensitif.

Ketiga, penerapan audit trail atau pencatatan otomatis terhadap semua aktivitas dalam sistem. Keempat, teknik penyamaran data (data masking) untuk menjaga agar identitas responden tidak langsung terhubung dengan data mereka.

BACA JUGA :  BPS Sinjai Matangkan Persiapan Sensus Ekonomi 2026: Membangun Indonesia dari Data Akurat

Kelima, penerapan prinsip zero trust architecture, menganggap semua akses, termasuk dari internal, sebagai potensi ancaman.

Kolaborasi antara pakar statistik, ahli keamanan siber, dan regulator kebijakan sangat dibutuhkan agar sistem ini benar-benar efektif.

Berbicara terkait, peta jalan Reformasi perlindungan Data Statistik Publik, eloknya, pemerintah perlu menyusun langkah bertahap menuju sistem perlindungan data statistik nasional yang kokoh dan mantap.

Tahun 2024–2025 digunakan untuk menyusun regulasi perlindungan data statistik dan menyelaraskannya dengan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Awal 2025 dilaksanakan uji coba teknologi differential privacy dan audit oleh mitra akademik. Pertengahan 2025 dijadikan momen kampanye edukasi nasional dan pelatihan SDM statistik di daerah.

Akhir 2025 dilakukan simulasi sensus skala nasional, termasuk uji skenario darurat digital.

SE26 pada 2026 menjadi puncak pelaksanaan sensus berbasis sistem proteksi data berlapis dengan akuntabilitas publik sebagai fondasinya.

Peran Media, Akademisi dan Komunitas Sipil tentunya sangat mempengaruhi dan mendukung SE26, berkaca pada perlindungan data bukan hanya tanggung jawab negara. Media massa atau pers adalah pilar demokrasi. Media pers punya ruang dan kesempatan emas dalam menyuarakan “urgensi” keamanan data secara independen.

Akademisi bisa menjadi mitra evaluasi yang obyektif melalui penelitian independen. Komunitas sipil dapat menjadi pengawas sosial agar data tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau [tambang] dan bidang komersial lainnya.

Kolaborasi multipihak ini menjadi prasyarat lahirnya budaya statistik yang etis dan bermartabat.

Data adalah aset strategis bangsa. Namun tanpa perlindungan yang kuat, data dapat menjadi sumber ketakutan dan konflik dan kejahatan Cyber.

SE26 adalah peluang emas bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa pembangunan bisa berbasis data tanpa mengorbankan hak warga.

Pemanfaatan teknologi mutakhir, mengadopsi praktik internasional, dan membangun budaya etika statistik, Indonesia dapat menciptakan sistem statistik publik yang kokoh dan bermartabat.

Sebab, kepercayaan dibangun dari praktik dan aksi nyata. Privasi bukan penghalang kemajuan, melainkan vitamin yang mendorong data akurat demi pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.


Sinjai, Jum’at 27/6/2025

Penulis: Amrullah Andi Faisal.

Editor: Bahtiar