JAKARTA, INSERTRAKYAT.com —
Meskipun PTUN tidak dapat menerbitkan akta perdamaian, perkara tetap bisa dihentikan melalui pencabutan gugatan. Ahad, (10/8/2025). Dengan demikian, Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUADA TUN) Mahkamah Agung RI, Yang Mulia (YM) Prof. Dr. H. Yulius, S.H., M.H., mendorong para hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memanfaatkan pemeriksaan persiapan sebagai media mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Bahkan sebelumnya hal tersebut disampaikan YM Yulius dalam pembinaan kepada seluruh PTUN dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara se-Indonesia yang digelar dari PTUN Pekanbaru melalui Zoom Meeting, Jumat (8/8). Menurutnya, keadilan tertinggi adalah perdamaian, dan akhir terbaik dari setiap perkara adalah ketika para pihak mencapai kesepakatan melalui mediasi atau negosiasi.
“Agar mereka bisa menentukan apa yang diinginkan, bertemu, bersepakat, bahkan mungkin saling mundur satu langkah untuk mencapai titik temu. Itulah esensi perdamaian,” ujarnya.
YM Yulius menanggapi pandangan lama yang menyatakan tidak ada ruang perdamaian di PTUN. “Sejak dulu kita didoktrin bahwa tidak ada perdamaian di TUN. Jadi pengadilan TUN itu pengadilan apa? Pengadilan perang?” ujarnya retoris.
Ia menjelaskan, menurut literatur Prof. Dr. Willy P.L. van der Feltz, persidangan di PTUN bersifat let-book, berbeda dengan persidangan pidana dan perdata yang bersifat contradictory. Pada perkara pidana dan perdata, dua pihak beradu bukti mempertahankan kepentingan masing-masing. Di PTUN, fokus utamanya mencari kebenaran substansial.
Sebagai contoh, di pengadilan administrasi Prancis tidak ada meja khusus tergugat, hanya meja penggugat dan hakim. Penggugat datang kepada hakim untuk mencari keadilan atas kerugian akibat tindakan pejabat.
“Memang secara formal tidak ada pasal di hukum acara TUN yang mengatur tahap perdamaian. Tetapi tidak ada salahnya jika perdamaian diupayakan pada pemeriksaan persiapan,” jelasnya.
Ia menegaskan, meskipun PTUN tidak dapat menerbitkan akta perdamaian, perkara bisa dihentikan melalui pencabutan gugatan. “Cukup dicabut, nomor perkaranya dicoret, lalu dibuat penetapan pencabutan,” ujarnya.
“Saya tidak ingin lagi mendengar kalimat ‘di TUN tidak ada perdamaian’. Dalam perang dunia saja ada perdamaian,” tambahnya.
Hakikat sengketa di PTUN, lanjutnya, umumnya berawal dari perbedaan interpretasi hukum antara penggugat dan tergugat terkait dasar hukum yang digunakan pejabat. Tugas pengadilan adalah memberikan tafsir yang benar. Namun, tidak semua perkara di PTUN bisa diselesaikan melalui perdamaian karena menyangkut hukum publik yang tidak boleh disimpangi.
“Perdamaian hanya dimungkinkan apabila sengketa muncul karena perbedaan interpretasi, pemaknaan, atau pemahaman hukum,” pungkasnya. Baca selengkapnya: Mahkamah Agung Terbitkan Surat Edaran: Larangan Pungutan dan Gratifikasi