“Tren IPH yang masih naik di tengah sebagian besar kabupaten mengalami deflasi mengindikasikan kerentanan struktural distribusi dan konsumsi di Sinjai. Diperlukan koordinasi erat antara pemerintah daerah, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), serta pelaku rantai pasok agar harga pangan tetap terjangkau dan stabil”
(Data BPS terkait dengan IPH Juni Pekan II Kabupaten se-Sulsel. Sumber: BPS Sinjai)

SINJAI, INSERTRAKYAT.com — Idul Adha 1446 Hijriyah telah berlalu, kendati harga sejumlah kebutuhan pokok di Kabupaten Sinjai kembali menunjukkan tren kenaikan.

Melihat Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sinjai yang diolah dari Kementerian Perdagangan, di sana mencatatkan Indeks Perkembangan Harga (IPH) Sinjai pada pekan kedua Juni 2025, naik 0,35 persen.

Data BPS itu menegaskan kenaikan ini tergolong moderat, namun perlu dicermati karena terjadi di tengah masa pasca-lebaran yang biasanya diwarnai dengan normalisasi harga.

BACA JUGA :  Polres Aceh Selatan Anjangsana dan Salurkan Bansos ke Purnawirawan Polri Sambut HUT Bhayangkara ke-79

Kepala BPS Sinjai, Syamsuddin, mengutarakan kepada Insertrakyat.com. Dalam keterangan resminya, ia mengatakan bahwa komoditas utama penyumbang inflasi pekan ini adalah daging ayam ras dan bawang merah, masing-masing memberi andil 0,6997 persen dan 0,0815 persen terhadap IPH.

“Kenaikan harga daging ayam pasca-Idul Adha, bukan hal baru. Untuk tahun 2025, kenaikan relatif lebih lambat dibanding tahun sebelumnya. Hal ini patut disyukuri, tapi juga harus tetap dikawal,” bunyi pernyataan Kepala BPS Sinjai, Syamsuddin di Kantornya, Selasa (17/6).

Lebih lanjut Syamsuddin menjelaskan bahwa, fluktuasi harga cabai rawit juga cukup signifikan, meski tidak sebesar daerah lain. Menurutnya, Nilai CV (koefisien variasi) fluktuasi cabai rawit di Sinjai mencapai 0,1463, menandakan ketidakstabilan yang cukup tinggi.

BACA JUGA :  Patroli Presisi TNI-Polri Aceh Selatan Dalam Wujudkan Situasi Aman Kondusif

“Perlu perhatian terhadap komoditas hortikultura, karena harganya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan rantai distribusi. Kita bisa belajar dari kabupaten lain yang IPH-nya anjlok karena gejolak harga cabai dan tahu mentah,” jelasnya.

Dibandingkan 17 kabupaten lain di Sulawesi Selatan, kata Syamsuddin, posisi IPH Sinjai berada di urutan menengah. Barru mencatat kenaikan IPH tertinggi sebesar 2,36 persen, disusul Luwu 2,02 persen. Di sisi lain, tekanan deflasi paling dalam terjadi di Jeneponto (-1,31 persen) dan Takalar (-1,26 persen) yang dilanda penurunan tajam harga tahu mentah dan cabai rawit.

“Banyak kabupaten yang mengalami deflasi setelah lebaran, karena daya beli mulai menurun dan stok melimpah. Tapi kita juga harus hati-hati: turunnya harga belum tentu berkah kalau petani dan peternak merugi. Stabilitas itu lebih penting,” ujar Syamsuddin.

BACA JUGA :  100 Hari Kerja, Bupati Aceh Selatan Launching Program Rehabilitas RTLH

Tak berhenti sampai disitu, lebih dalam Syamsuddin memberi pandangan terkait data tersebut. Ia lalu menegaskan perlunya sinergi antara pemangku kepentingan dalam mengendalikan harga pangan.

“Jangan hanya bergantung pada operasi pasar ketika harga sudah tinggi. Harus ada sistem distribusi yang efisien dan perlindungan petani serta peternak lokal,” ungkapnya.

Syamsuddin menyebut, data IPH bukan sekadar angka, melainkan cerminan kondisi ekonomi rakyat kecil. “Kalau daging ayam dan bawang terus naik, yang paling terdampak itu warga miskin dan pelaku UMKM pangan. Maka kita perlu kebijakan yang tanggap dan berkeadilan,” tandasnya.


Berkontribusi dalam artikel ini adalah Amrullah Andi Faisal. Editor Supriadi Buraerah 

BERITA TERBARU