INSERTRAKYAT.COM,–Ketika pengadilan adalah tempat rakyat menggantungkan harapan terakhir atas keadilan, berubah menjadi pasar tempat hukum diperjualbelikan, maka tidak ada lagi yang tersisa selain ratap tangis bangsa ini. Indonesia kembali menyaksikan skenario “suap minyak goreng”, yang menelanjangi wajah asli kekuasaan: busuk, bercela, dan tak lagi menyisakan ruang bagi nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh pendiri negeri ini.

Kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, MAN, serta Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, WG, bersama dua advokat MS dan AR, adalah tamparan keras bagi nurani hukum. Selain Mereka menampar wajah keadilan, mereka juga menginjak-injak penderitaan rakyat yang setiap hari berjuang melawan harga bahan pokok, dan kelangkaan minyak goreng.

Perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang nilainya triliunan rupiah bukanlah cerita fiktif. Ini nyata. Ini memiskinkan negara. Ini membuat banyak ibu gagal memberi makan anaknya. Ini membuat banyak petani sawit kecil meringis karena harga anjlok, sementara korporasi raksasa justru bebas menghirup udara tanpa rasa bersalah, berkat segepok uang haram yang melintasi meja-meja hakim.

Dari Ferrari Spider hingga dompet berisi ribuan dolar dan ringgit Malaysia, realitasnya adalah: hukum di negeri ini tunduk kepada angka 60 Miliar. Dan ketika uang menjadi panglima tertinggi dalam sistem hukum, maka harapan rakyat hanya tinggal dongeng pengantar tidur.

Apa yang harus dikatakan kepada seorang anak di pelosok desa yang ayahnya dipenjara hanya karena dituduh mencuri ayam, sementara mereka yang merampok masa depan bangsa bisa tidur di ranjang empuk hotel berbintang?. Bagaimana menjelaskan kepada generasi muda bahwa integritas itu penting, jika yang dihormati dan ditakuti justru mereka yang bisa membeli putusan pengadilan?.

Ironis, rakyat membayar pajak demi negara yang adil, tetapi uang mereka justru dipakai untuk menggaji pejabat-pejabat busuk yang menggadaikan hukum. Dalam ruang persidangan yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, suara nurani rakyat kini hanya bergema sebagai gema kosong.

Warga kecil yang setiap hari antre minyak goreng dengan kupon, nelayan yang dipaksa mengganti jalur karena korporasi sawit mencemari laut, atau guru honorer yang hanya dibayar Rp500.000 per bulan, semua menjadi korban dari korupsi yang difasilitasi oleh keputusan hakim yang dibeli.

Kasus ini menyadarkan kita bahwa keadilan bukan mati dengan sendirinya. Ia dibunuh perlahan dan sistematis, oleh mereka yang dititipi amanah tetapi mengkhianatinya. Para hakim, panitera, dan pengacara yang terlibat bukan sekadar pelaku hukum, mereka adalah penjaga gawang bangsa yang berubah menjadi serigala lapar.

Dan seperti biasa, rakyat hanya bisa menonton. Menangis. Menahan sesak. Menyimak berita sambil berharap, Semoga besok tak lebih buruk dari hari ini.

Apakah kita masih punya ruang untuk berharap?. Atau tangisan ini hanya akan menjadi bagian dari sejarah yang dihapus?. Ketika mobil mewah disita, ketika dolar disembunyikan dalam tas, ketika uang disulap menjadi pembebasan hukum, maka satu-satunya yang tidak berubah adalah kesedihan rakyat.

Air mata rakyat memang tidak masuk dalam berita utama di Media- Media Nasional/TV. Tapi air mata rakyat mengalir diam-diam, di balik dinding rumah petani miskin, di pelupuk anak-anak yang belajar tanpa meja, di hati guru yang mengabdi dalam keterbatasan. Semoga satu hari nanti, keadilan tidak lagi dijual dengan harga apapun termasuk diskon.

S-1Tulisan Opini 13 April 2025.