INSERTRAKYAT.COM,- SEIRING bergulirnya waktu, sistem hukum pidana Indonesia tak bisa terus bertumpu pada warisan kolonial. KUHP lama yang mengacu pada Wetboek van Strafrecht Belanda, sudah tak lagi relevan dengan dinamika kejahatan dan kebutuhan keadilan masa kini. Negara kita membutuhkan hukum pidana yang lebih humanis, dan itulah semangat yang dibawa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru.
Salah satu gagasan progresif yang patut diapresiasi dalam KUHP Baru adalah dimunculkannya konsep Pemaafan Hakim atau Rechterlijk Pardon dalam Pasal 54 ayat (2). Konsep ini memungkinkan hakim, dalam kasus tertentu, untuk menyatakan seorang terdakwa bersalah namun tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apa pun, dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Gagasan ini bukan tanpa preseden. Di Belanda, Rechterlijk Pardon telah diakomodasi melalui Pasal 9a Wetboek van Strafrecht, dan diadopsi pula oleh negara lain seperti Portugal, Yunani, dan Uzbekistan. Indonesia kini tengah mengambil langkah serupa, namun sayangnya belum menyelaraskan konsep ini dalam sistem hukum acara pidana (KUHAP).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perlu dipahami, pemaafan hakim bukanlah bentuk impunitas atau pembiaran terhadap pelaku kejahatan. Sebaliknya, ini adalah bentuk rasionalitas hukum yang mengedepankan proporsionalitas dan relevansi pemidanaan. Dalam konteks tindak pidana ringan, dengan pelaku yang menunjukkan penyesalan dan memiliki latar belakang yang mendukung rehabilitasi sosial, pemidanaan bisa menjadi tidak hanya tidak perlu, tetapi kontraproduktif.
KUHP Baru secara tegas merumuskan alasan – alasan yang dapat dipertimbangkan hakim, mulai dari ringannya perbuatan, kondisi pribadi pelaku, hingga situasi saat tindak pidana dilakukan dan hal-hal yang terjadi setelahnya. Contohnya, tindak pidana penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, hingga penipuan ringan yang nilainya sangat kecil. Dalam konteks seperti ini, menjatuhkan pidana penjara hanya akan membebani lembaga pemasyarakatan dan berpotensi memperburuk kondisi sosial pelaku.
Konsep Rechterlijk Pardon juga sejalan dengan semangat baru KUHP yang menempatkan pemidanaan sebagai ultimum remedium. Ini berarti pidana penjara bukan lagi satu-satunya jalan. Sebaliknya, hukum pidana diarahkan untuk membina, bukan menghukum semata. Penekanan pada aspek individual pelaku menjadi penting—terutama bila pelaku adalah anak-anak, lansia, atau baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Namun, yang menjadi catatan kritis adalah absennya pengaturan tentang Rechterlijk Pardon dalam KUHAP saat ini. KUHAP, melalui Pasal 193 dan Pasal 197, masih mensyaratkan bahwa jika terdakwa terbukti bersalah, maka hakim wajib menjatuhkan pidana atau tindakan. Jika tidak, putusan dinyatakan batal demi hukum. Di sinilah letak persoalan substansial: KUHP Baru membawa semangat baru, tetapi belum ditopang oleh sistem hukum acara pidana yang sesuai.
Jika Rechterlijk Pardon tetap dibiarkan hanya sebagai norma dalam KUHP Baru tanpa diikuti penyesuaian dalam KUHAP, maka akan timbul konflik normatif. Putusan hakim yang menggunakan dasar Pasal 54 ayat (2) berisiko dianggap batal demi hukum hanya karena tidak memenuhi ketentuan formil dalam KUHAP yang berlaku. Ini tentu merugikan upaya reformasi hukum pidana secara keseluruhan.
Oleh karena itu, harmonisasi dengan Rancangan KUHAP menjadi mutlak. Ke depan, kita perlu menyusun KUHAP baru yang tidak hanya mengenal tiga jenis putusan (pemidanaan, bebas, lepas), tetapi juga menambahkan satu lagi: putusan pemaafan. Dengan demikian, KUHAP yang baru akan lebih akomodatif terhadap realitas sosial dan kebutuhan keadilan substantif.
Konsep Rechterlijk Pardon menawarkan alternatif baru dalam peradilan pidana: sebuah ruang refleksi bagi hakim untuk menimbang sisi manusiawi dari hukum. Jika diselaraskan dengan hukum acara pidana yang tepat, Indonesia akan memiliki sistem hukum yang tidak hanya menindak, tetapi juga mendidik dan menyembuhkan. Di titik inilah hukum mencapai tujuannya yang sejati: melindungi, menegakkan keadilan, sekaligus memanusiakan manusia.
Berkontribusi dalam artikel ini adalah Arizal Anwar, Ketua PN Kalianda.
Catatan: Tulisan opini/sudut pandang Anda tentang ekonomi, sosial, kesehatan, dan politik dapat diterbitkan insertrakyat.com . Silahkan menghubungi contact call yang tercantum pada Boks Redaksi.