Iklan Otomatis Google AdSense 160x600

POSO, INSERTRAKYAT.COM –– Di jantung Sulawesi Tengah, masyarakat Kaili masih memelihara warisan hukum adat yang unik dan kuat berakar pada nilai budaya lokal. Peradilan adat Kaili bukan sekadar peninggalan masa lampau, tetapi menjadi instrumen sosial yang tetap relevan untuk mengatur tatanan masyarakat modern. Sistem ini membuktikan bahwa kearifan lokal mampu selaras dengan dinamika hukum nasional tanpa kehilangan identitas budaya.

Peradilan adat Kaili berfungsi sebagai forum resmi masyarakat untuk menengahi sengketa dan mengelola hubungan sosial, termasuk kasus pidana seperti perselingkuhan. Eksistensinya tetap kokoh di wilayah sulit dijangkau negara, seperti Desa Salena, Desa Sivua, dan Kelurahan Silae di Palu. Hukum adat lisan, atau Atura Nu Ada, diwariskan turun-temurun dan menjadi pedoman perilaku masyarakat, baik dalam ucapan, tindakan, maupun perbuatan.

BACA JUGA :  Sedikitnya 4 Fakta Terungkap Saat Komisi III DPR RI Kunjungi Polres Parepare : Kematian Tahanan Kasus Narkoba

Esensi peradilan adat bukan semata menegakkan hukuman, tetapi memulihkan keseimbangan sosial yang terganggu. Sanksi adat berperan sebagai koreksi untuk mengembalikan ketentraman dan keharmonisan komunitas. Dalam beberapa kasus, tanggung jawab pelanggaran bersifat kolektif, sehingga seluruh masyarakat turut menjaga norma agar kesalahan serupa tidak terulang.

Proses penyelesaian sengketa bersifat partisipatif dan berlandaskan musyawarah. Saat terjadi pelanggaran, laporan diajukan oleh masyarakat atau pihak yang dirugikan (To Rugi) kepada lembaga adat setempat yang dipimpin Balengga Nu Ada. Sebelum persidangan, dilakukan klarifikasi awal terhadap pelaku (To Sala) dan pihak terkait. Sidang adat digelar di Bantaya atau ruang terbuka, dihadiri tetua, tokoh masyarakat, saksi minimal dua orang, serta warga. Semua proses terbuka; pelaku dan korban diberi kesempatan menjelaskan, saksi dimintai keterangan, dan bukti diperiksa.

BACA JUGA :  Wamendagri Buka Festival Danau Poso 2025, Kagumi Keindahan Alam dan Budaya Sulawesi Tengah

Keputusan diambil melalui musyawarah dewan adat, tanpa kuasa hukum. Penentuan kesalahan berdasar fakta persidangan dan pengakuan para pihak. Putusan bersifat final dan diakui aparat kepolisian melalui asas ne bis in idem. Contohnya, kasus Sivua 2011, penyidikan dihentikan karena perkara telah selesai melalui mekanisme adat.

Dalam hukum adat Kaili, sanksi disebut Givu, dibagi tiga tingkatan: Sala Kana untuk pelanggaran serius seperti perselingkuhan atau penghinaan kepala adat, Sala Mbivi untuk pelanggaran menengah, dan Sala Baba untuk pelanggaran ringan. Eksekusi Sala Kana antara lain: Nilabu, perendaman di laut sebagai simbol pembersihan; Nipali, pengusiran dari kampung atau wilayah adat; Nibeko, pengucilan dari masyarakat; serta Bangu Mate, denda berupa hewan ternak atau perlengkapan adat, kini kerap dikonversi menjadi uang.

BACA JUGA :  Hakim Tinggi PT Sulteng Muhammad Yusuf Wafat Saat Berbagi di Pesantren

Contoh kasus perzinahan Nobualo/Nebualosi, sanksi berupa kerbau, kain adat, piring dan dulang adat, serta mata uang Riyal yang dikonversi ke Rupiah. Jika denda tidak terpenuhi, Nilabu atau Nipali diterapkan sebagai sanksi alternatif.

Peradilan adat Kaili menunjukkan bahwa tradisi lokal mampu bertahan dan beradaptasi. Sanksi disesuaikan agar selaras dengan nilai Hak Asasi Manusia dan ajaran agama, namun esensi keadilan dan keharmonisan tetap terjaga. Peradilan adat semestinya dihormati, bukan dilihat sebagai pesaing hukum nasional, melainkan sebagai pelengkap berbasis budaya dan rasa keadilan masyarakat. Dalam kerangka pluralisme hukum Indonesia, peradilan adat Kaili merupakan kekayaan budaya yang mencerminkan kedalaman dan kebermanfaatan kearifan lokal. (Berbagai sumber)

Berkontribusi dalam artikel ini adalah Daniel penggiat literasi.

Ikuti INSERTRAKYAT.COM
Ikuti INSERTRAKYAT.COM

Dukung Jurnalis Profesional Indonesia. Klik tombol di bawah untuk mengikuti saluran resmi dan bergabung dalam grup WhatsApp.