INSERTRAKYAT.com, Jakarta,– Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terkait proyek Kilang Tuban kembali mengguncang publik. Dalam audit atas Proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban, BPK mencatat adanya potensi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran negara dengan nilai mencapai Rp8,38 triliun.
Dikutip Insertrakyat.com, Jumat (6/6/2025), BPK merinci bahwa indikasi kerugian berasal dari penggunaan anggaran oleh PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP). PRPP merupakan perusahaan patungan antara PT Pertamina (Persero) dan Rosneft Singapore Pte Ltd, entitas yang sebelumnya bernama Petrol Complex Pte Ltd dan terafiliasi dengan perusahaan migas asal Rusia, PJSC Rosneft Oil Company.
Sebagian besar publik mengenal proyek GRR sebagai Kilang Tuban. Dari struktur kepemilikan saham, anak usaha Pertamina, yakni PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), memegang 55% saham PRPP, sementara 45% sisanya dikuasai oleh Rosneft Singapura.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Melalui proporsi ini, BPK mengungkap bahwa Pertamina dan KPI telah merealisasikan dana sebesar US$416,34 juta atau sekitar Rp6,77 triliun, yang dinilai berisiko merugikan keuangan perusahaan jika proyek tidak dilanjutkan atau tidak memperoleh persetujuan pelaksanaan.
Audit BPK tertuang dalam laporan bernomor 68/LHP/XX/12/2024 tertanggal 27 Desember 2024. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Auditor Utama Keuangan Negara VII, Novy Gregory Antonius Pelenkahu. Lembar audit tersebut turut diparaf oleh Direktur Utama KPI, Taufik Adityawarman, sebagai bentuk pernyataan tanggung jawab pada 31 Januari 2024.
BPK menguraikan bahwa dana sebesar US$295,51 juta telah dialokasikan oleh Pertamina untuk pengadaan lahan, pembebasan lahan (early work/land clearing), serta pengembangan lokasi proyek (site development). Sementara itu, PRPP juga mengeluarkan dana US$219,69 juta hingga akhir 2022 untuk kebutuhan desain teknik dasar (basic engineering design), lisensi, konsultan proyek, biaya hukum, studi, tenaga kerja, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak dapat diklaim.
Menurut BPK, akar persoalan adalah ketidakpastian kelanjutan proyek GRR Tuban, yang tak kunjung memperoleh keputusan investasi akhir (final investment decision atau FID) sejak pertama kali diinisiasi pada 2015. Hingga kini, FID belum juga ditetapkan oleh Pertamina dan Rosneft untuk megaproyek kilang senilai US$20,7 miliar tersebut.
Keterlambatan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti terlambatnya penguasaan lahan yang baru terealisasi pada Januari 2019, dampak pandemi Covid-19, dan situasi geopolitik global yang menghambat penunjukan penasihat keuangan (financial advisor). BPK menyoroti bahwa hingga kini Pertamina belum juga menggandeng financial advisor untuk membantu pembiayaan eksternal proyek, menyebabkan proses penetapan FID tersendat selama bertahun-tahun.
Adapun proyek senilai US$20,8 miliar ini direncanakan akan dibiayai melalui skema 40% ekuitas dan 60% utang. Dari komitmen pendanaan, Rosneft menyanggupi US$7 miliar, sementara Pertamina sebesar US$8,6 miliar. Rinciannya, porsi ekuitas Pertamina mencapai US$4,55 miliar dan Rosneft US$3,72 miliar, dengan sisanya sebesar US$5,2 miliar akan ditutup melalui pembiayaan EPC (engineering, procurement, and construction).
BPK menyalahkan kelalaian dalam manajemen proyek kepada Direktur Utama PT KPI. Ketidakcermatan dalam mengusulkan investasi, menyusun klausul kontrak, dan mengelola risiko pembangunan GRR Tuban dianggap sebagai faktor utama tertundanya proyek yang berujung pada membengkaknya biaya pembangunan.
Sebagai langkah korektif, BPK merekomendasikan Taufik Adityawarman untuk melakukan kajian menyeluruh atas kelayakan proyek, baik dari aspek ekonomi maupun keberlanjutan investasi, sebelum mengajukan FID. Selain itu, BPK mendorong agar kontrak kerja sama mencantumkan exit clause guna mengantisipasi risiko akibat force majeure.
Hingga berita ini ditayangkan, PT KPI belum memberikan tanggapan resmi atas temuan yang diungkap oleh BPK tersebut.
(IR-BT/Kontribusi – Tim)