“Marwah dan harga diri akan ditentukan dengan penegakan hukum yang tegas dan tanpa pilih bulu untuk efektifnya penggunaan semua anggaran,”
JAKARTA, INSERTRAKYAT.COM – Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) menyatakan keyakinan bahwa Kejaksaan Agung dan atau KPK akan segera menyelesaikan kasus dugaan penyalahgunaan dana Participating Interest sebesar 488 miliar Rupiah dan Dana Bagi Hasil Sawit sebesar 39 miliar Rupiah, Rabu, (2/7/2025). Hari ini juga Kejati menggeledah salah satu kantor [Inti Berita].

Sebelumnya, kasus ini dilaporkan pada 15 Juli 2024 dan kini berada dalam tahap pengayaan analisis serta pengumpulan barang bukti. Hanya saja, sampai pada Minggu kasus ini belum dituntaskan. Untuk itu, INPEST mendesak penyelidikan secara menyeluruh.
INPEST telah memberikan keterangan yang diperlukan, dan pihak KPK serta JamPidsus Kejagung berkomitmen untuk melanjutkan penyidikan. Ganda Mora, perwakilan INPEST, mengungkapkan,
“Kami sudah menghadiri undangan KPK dan mendatangi JamPidsus Kejagung untuk memberikan keterangan dan data pendukung. Kami mendesak agar Kejagung dan KPK segera memanggil pemerintah daerah (Pemda) Rokan Hilir untuk memberikan keterangan terkait keadaan keuangan dan penggunaan dana tersebut,” ungkap Ganda dalam keterangannya yang diterima Insertrakyat.com.
Lebih lanjut, Ganda menegaskan bahwa penggunaan dana tidak transparan dan tidak sesuai peruntukannya.
“Dana seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, namun sesuai audit BPK, dana tersebut malah diduga digunakan untuk membayar gaji honorer dan hibah ke KPU serta Bawaslu. Namun banyak pula tenaga honorer yang belum menerima gaji mereka, menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat,” ungkapnya.
Ia optimis bahwa di era pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo, penegakan hukum akan lebih tegas dan efektif.
“Marwah dan harga diri akan ditentukan dengan penegakan hukum yang tegas dan tanpa pilih bulu untuk efektifnya penggunaan semua anggaran,” tutup Ganda.
Sebelumnya diberitakan Insertrakyat.com pada Rabu, puluhan massa dari Aliansi Gerakan Mahasiswa Pemantau Riau (GEMMPAR RIAU) menggelar demonstrasi di depan Gedung Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pekanbaru.
Aksi ini, menurut aktivis GEMMPAR, bertujuan untuk mendesak Kejati Riau segera memproses hukum oknum Bupati Rokan Hilir, AS, terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi dana Participating Interest (PI) dengan nilai anggaran sebesar Rp488 miliar dan Dana Bagi Hasil (DBH) Kelapa Sawit senilai Rp39 miliar.
Koordinator Umum GEMMPAR, Erlangga, SH, dalam orasinya menuntut agar Kejati Riau segera menangkap oknum Bupati Riau, yang diduga kuat terlibat dalam penyelewengan dana tersebut.
“Kami mendesak Kejati Riau segera menangkap oknum Bupati Riau, AS. Dana PI dan DBH Kelapa Sawit diduga telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk dugaan mendanai kampanye politik keluarganya,” ujar Erlangga di tengah riuhnya massa aksi.
Erlangga menambahkan bahwa dana PI yang seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah diduga disalahgunakan untuk kepentingan politik keluarga Afrizal Sintong.
“Dana PI seharusnya digunakan untuk pembangunan, bukan untuk kepentingan pribadi dan politik,” tegasnya.
Selain itu, GEMMPAR menyoroti dugaan korupsi terkait DBH Kelapa Sawit yang juga diduga digunakan untuk kepentingan pribadi oleh oknum tertentu.
“Kami ingin kejelasan mengenai penggunaan dana ini. Jika terbukti disalahgunakan, AS harus mempertanggungjawabkan di hadapan hukum,” seru Erlangga.
Aksi tersebut juga menyoroti dugaan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran di Dinas Pendidikan Rokan Hilir. Erlangga mengungkapkan bahwa anggaran swakelola yang bernilai ratusan miliar dari tahun 2023 hingga 2024 harus diperiksa.
“Ada indikasi penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran ini, termasuk pengadaan mobiler yang diduga tidak sesuai spesifikasi,” tambahnya.
GEMMPAR juga mengkritisi proses Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dilakukan pada akhir masa jabatan Bupati. Mereka menilai RUPS ini janggal karena biasanya dilakukan pada bulan Januari.
“RUPS ini dilakukan tanpa payung hukum yang jelas dan pencairan dividen yang tidak diketahui peruntukannya,” ujar Andri, salah satu anggota GEMMPAR.
GEMMPAR meminta DPRD Rokan Hilir untuk tidak mengesahkan APBD Perubahan jika penggunaan dana PI tidak jelas.
“Kami mendesak DPRD Rokan Hilir untuk tidak mengesahkan APBD Perubahan jika ada dugaan penggunaan dana PI yang tidak transparan,” pungkas Junaidi.
Aksi damai ini berlangsung tertib dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Perwakilan GEMMPAR diterima oleh pihak Kejati Riau untuk menyampaikan tuntutannya.
Sebelumnya, pada Kamis (1/8/2024), Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) juga menggelar aksi serupa di depan gedung KPK dan Kejagung Jakarta, menuntut agar KPK memeriksa aliran Dana PI ke BUMD Rohil.
Ganda Mora, Ketua Umum INPEST, mengungkapkan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan anggaran di Kabupaten Rokan Hilir.
“Kami meminta agar KPK terkait menyelidiki aliran Dana PI sebesar Rp488 miliar yang diduga masuk ke rekening Perseroan Daerah Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPR) pada akhir tahun 2023,” tuntasnya.
Kejati Riau Geledah Kantor SPRH Di Kasus PI

Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Riau menggeledah sejumlah lokasi di Kabupaten Rokan Hilir, Rabu (2/7/2025). Penggeledahan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10 persen dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang dikelola oleh PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH).
Pengamanan dalam penggeledahan turut melibatkan personel TNI Angkatan Darat, khususnya dari Batalyon Arhanud 13 Pekanbaru. Langkah itu ditempuh untuk memastikan proses penyidikan berjalan tertib dan lancar di lapangan.
Penyidik Kejati dibagi menjadi dua tim. Mereka bergerak sejak pukul 11.30 WIB hingga 18.00 WIB di Kota Bagansiapiapi. Lokasi yang digeledah meliputi kantor SPRH dan rumah milik beberapa mantan direksi perusahaan daerah tersebut.
“Dokumen yang berkaitan dengan perkara ditemukan dan langsung disita untuk proses penyidikan,” jelas Zikrullah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Riau.
Menurut Zikrullah, penggeledahan berjalan aman dan disaksikan sejumlah pihak. Di antaranya adalah karyawan SPRH, pemilik rumah, serta tokoh lingkungan seperti ketua RT. Semua tindakan dilakukan sesuai prosedur hukum.
Kasus ini berawal dari penyelidikan dugaan penyimpangan dana PI senilai Rp551.473.883.895. Dana tersebut diduga tidak digunakan sesuai ketentuan dan peruntukan sebagaimana diatur dalam regulasi migas nasional.
Penyelidikan awal telah dilakukan beberapa waktu lalu. Setelah ditemukan cukup bukti permulaan, perkara ditingkatkan ke penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-06/L.4/Fd.1/06/2025 tertanggal 11 Juni 2025.
Partisipasi aparat TNI dalam pengamanan menjadi sorotan publik. Namun, Kejati menegaskan hal itu untuk menjamin stabilitas lapangan, mengingat besarnya nilai perkara dan potensi resistensi saat penggeledahan. Kehadiran TNI sesuai aturan berlaku.
Dana PI 10 persen merupakan bentuk partisipasi daerah dalam pengelolaan wilayah kerja migas, sesuai Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2016. Pemerintah daerah memiliki hak atas 10 persen saham melalui BUMD seperti SPRH. Namun, indikasi penyimpangan yang kini diusut penyidik menimbulkan keprihatinan luas.
Hingga kini, Kejati belum mengumumkan siapa saja yang telah atau akan ditetapkan sebagai tersangka. (Ro/Su).