Kegiatan kerja bakti dan atau Gotong Royong dilakukan oleh Satuan TNI AD dengan membantu masyarakat melakukan pekerjaan lantai masjid di salah satu desa di Sinjai. Beberapa bulan lalu. (Foto: dokumentasi kegiatan/Sumber Bertanggung Jawab).
SINJAI, INSERT RAKYAT — Sinjai mulai gelisah. Di tengah derasnya arus informasi digital, penyebaran hoaks makin sulit dibendung. Warga, termasuk anak-anak, mulai terpapar kabar bohong yang menyusup melalui media sosial, pesan berantai, dan platform video dan foto.
Seruan untuk waspada mengemuka. Panggilan akrabnya adalah Iwan, pemerhati media dan literasi informasi, angkat suara. Ia menegaskan perlunya langkah tegas dari pemangku kebijakan, bukan sekadar imbauan di kantor saja.
Ia khwatir dari dampak Hoaks. Iwan lalu mencontohkan bahwa foto anggota TNI aktif sedang berada di dalam Masjid dengan menggunakan sepatu saat itu masjid sedang dalam perbaikan. Itu masjid sedang renovasi lantai. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum Juli. Tapi ketika ada yang plintir, lanjutannya, bisa jadi pembohongan publik. Saat itu perbaikan Masjid di salah satu desa di Sinjai.
“Jangan biarkan anak-anak belajar dari kebohongan, makanya perlu dilakukan sosialisasi” ujarnya di Sinjai, Rabu (9/7/2025) malam.
“Hoaks bisa jadi racun yang menyerang tanpa suara,” masih dia.
Dampak Hoaks menyentuh Psikologi Anak. Bukan hanya orang dewasa. Anak-anak pun menjadi korban.
Banyak dari mereka tak mampu membedakan mana informasi valid dan mana dusta digital. Hoaks soal penculikan, teror, atau bencana bisa memicu ketakutan berlebih, kecemasan sosial, bahkan trauma berkepanjangan.
“Sebelum itu mewabah sebaiknya ada pencegahan secara efektif,” tuturnya.
“Anak-anak kita bukan robot penyaring. Mereka menyerap semua yang dilihat,” lanjut Iwan.
Dalam catatannya, sudah ada anak di Sinjai yang menangis dan trauma setelah menonton video hoaks. Karena itu, Iwan mendesak Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo), TNI, dan Polri untuk terlibat aktif. Edukasi dan sosialisasi bukan pilihan, tapi keharusan.
Langkah serentak dalam mencegah, kata dia, jauh lebih efektif dibandingkan penanganan setelah dampak terjadi. Ia menyarankan adanya kampanye Sinjai Bijak Bermedia Sosial yang melibatkan sekolah, pesantren, tokoh agama, dan komunitas pemuda.
“Kalau perlu, jadikan literasi digital bagian dari kurikulum sekolah,” tegasnya.
Menurut Iwan, pendekatan paling efektif adalah gabungan edukasi dan ketegasan hukum. Pemerintah daerah perlu menyediakan kanal resmi untuk klarifikasi informasi. Warga harus tahu ke mana bertanya jika ragu atas sebuah kabar.
Ia juga menyarankan agar Bhabinkamtibmas dan Babinsa rutin menyampaikan pesan anti-hoaks saat mendatangi warga.
“Sampaikan dalam bahasa sederhana, masuk ke hati rakyat,” ujar Iwan.
Tak hanya pemerintah. Peran keluarga sangat penting. Orang tua diingatkan untuk mengawasi dan mendampingi anak saat mengakses internet. Guru juga diminta menjadi garda terdepan penjernih informasi di lingkungan sekolah.
Iwan menegaskan, jika edukasi ini tidak dimulai sekarang, dampaknya akan terasa dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
“Anak-anak akan tumbuh dengan ketakutan yang tidak perlu. Mereka tidak percaya lagi pada apa pun.”
Ia menyebut, bahwa, membiarkan hoaks tumbuh sama dengan membiarkan kebohongan menjadi sistem pendidikan alternatif.
Iwan juga menyebut pentingnya sinergi antara sektor. Kominfo, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), serta aparat keamanan perlu membangun gerakan bersama. Tidak cukup hanya satu-dua kegiatan.
Gerakan itu, lanjut Iwan, harus menyasar sekolah, komunitas desa, bahkan forum pengajian dan majelis taklim.
“Masjid bisa jadi tempat edukasi. Ceramah Jumat bisa sisipkan soal hoaks. Itu bagian dari akhlak bermedia,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Iwan mengajak semua pihak untuk tidak abai. Bahaya hoaks bukan soal teknologi, tapi soal kesadaran. Ia juga berharap media lokal turut serta menyuarakan pesan ini secara konsisten dan berimbang.
“Mari jaga anak-anak kita dari luka yang tak tampak. Luka informasi Hoax” pungkasnya. (*/S).