JAKARTA, InsertRakyat.com,POLEMIK yang muncul terkait penetapan status tersangka oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpandan baru-baru ini, serta oleh PN Dompu pada 2016, menciptakan perdebatan yang cukup luas di kalangan praktisi hukum. Isu ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam konteks hukum acara yang lebih jelas.

Pasal 36 butir d UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan status tersangka. Namun, pasal ini belum mengatur secara rinci tentang bagaimana kewenangan tersebut harus dilaksanakan. Padahal, dalam praktiknya, hakim harus tetap berpedoman pada asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 3 KUHAP. Selain itu, perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) bagi individu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh hakim juga harus dijamin melalui aturan yang lebih tegas.

BACA JUGA :  GAMAT RI Soroti Kejanggalan Putusan PN Barru, Perkara Sengketa Tanah "Masuk Angin"

Berbagai persoalan pun muncul setelah hakim menetapkan status tersangka, seperti apakah penyidikan masih diperlukan, apakah tersangka berhak mengajukan praperadilan, dan bagaimana proses penetapan tersangka oleh jaksa selaku eksekutor. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan adanya kebingungan yang melibatkan hakim, jaksa, dan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini memperlihatkan adanya ruang kosong dalam sistem hukum yang perlu segera diatur.

BACA JUGA :  Kapolres Sinjai Pimpin Pengamanan Eksekusi Tanah di Sinjai, 160 Personel Gabungan Dikerahkan

Dalam hal ini, langkah yang diambil oleh PN Dompu dan PN Tanjungpandan dalam “menghidupkan” Pasal 36 butir d UU Nomor 18 Tahun 2013 perlu segera mendapatkan respons dari Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga yang memiliki fungsi regulatif, MA diharapkan untuk segera menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) guna mengisi kekosongan hukum yang ada dan mengatur pelaksanaan kewenangan hakim dalam menetapkan status tersangka.

BACA JUGA :  Meningkatkan Efektivitas Keadilan Restoratif: Rekomendasi P3KHAM UNS untuk Reformasi Hukum

PerMA yang dimaksud sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pasca penetapan status tersangka dan memberikan dampak positif bagi pembaruan hukum acara di Indonesia. Selain itu, penerbitan PerMA ini juga akan semakin memperkuat peran lembaga Yudikatif dalam menegakkan hukum dan keadilan yang lebih substansial, menciptakan kepastian hukum yang lebih baik bagi semua pihak.

Berkontribusi dalam artikel ini adalah Dr. Djuyamto, SH, MH. (Foto: Djuyanto).