SUDUT PANDANG, INSERTRAKYAT.COM –– Kecelakaan lalu lintas kerap menghadirkan dilema hukum yang sulit dipahami oleh masyarakat. Salah satunya ketika pengendara motor tewas setelah bertabrakan dengan mobil, sementara pengemudi mobil dinyatakan tidak bersalah atau tidak dijadikan tersangka. Dalam pandangan publik, situasi seperti ini kerap dianggap tidak adil karena yang meninggal seolah dijadikan penyebab, sedangkan pihak yang selamat bebas dari jerat hukum. Padahal, sistem hukum pidana Indonesia memiliki aturan tegas bahwa seseorang yang telah meninggal dunia tidak dapat dijadikan tersangka dalam perkara apa pun, termasuk kasus kecelakaan lalu lintas.
Secara hukum, penetapan tersangka hanya bisa dilakukan terhadap seseorang yang masih hidup dan memenuhi dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sementara itu, Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa penuntutan pidana gugur apabila tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Artinya, apabila pengendara motor yang diduga lalai dalam berkendara telah meninggal akibat tabrakan, maka proses pidana terhadap dirinya otomatis berhenti. Polisi tidak memiliki dasar hukum untuk menetapkannya sebagai tersangka karena hukum pidana tidak mengenal pertanggungjawaban terhadap orang yang telah tiada.
Dalam kasus seperti ini, tugas kepolisian adalah melakukan olah tempat kejadian perkara, memeriksa saksi, dan mengumpulkan bukti guna mengetahui siapa yang berperan dalam terjadinya kecelakaan. Jika hasil penyidikan menunjukkan bahwa pengemudi mobil tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, maka wajar apabila ia tidak ditetapkan sebagai tersangka. Namun, jika ditemukan bukti kuat bahwa pengemudi mobil melanggar aturan lalu lintas atau mengemudi secara lalai hingga menyebabkan kecelakaan, maka ia tetap bisa dijerat pidana berdasarkan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 310 ayat (4) UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak dua belas juta rupiah. Dengan demikian, bebas atau tidaknya pengemudi mobil tidak ditentukan oleh siapa yang meninggal, tetapi berdasarkan hasil penyelidikan dan bukti di lapangan. Apabila bukti menunjukkan bahwa pengemudi mobil sudah berada di jalur yang benar dan pengendara motor yang menabrak, maka tanggung jawab hukum tidak dapat dialamatkan kepadanya.
Dalam praktiknya, kepolisian tidak menetapkan pengendara motor yang meninggal sebagai tersangka, melainkan hanya menyimpulkan peran dan penyebab kecelakaan dalam berita acara penyidikan. Hasil penyidikan itu biasanya diakhiri dengan laporan penghentian perkara karena pelaku meninggal dunia. Langkah tersebut sesuai dengan Pasal 230 ayat (2) UU Lalu Lintas yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan jika pelaku meninggal dunia atau tidak ditemukan unsur pidana. Hal ini sering disalahpahami oleh masyarakat sebagai bentuk pembebasan terhadap pengemudi mobil, padahal keputusan itu semata karena bukti menunjukkan tidak adanya unsur kesalahan di pihaknya.
Sebagai contoh perumpamaan, bayangkan sebuah tabrakan di mana pengemudi mobil melaju dengan kecepatan normal di jalur yang benar, sementara pengendara motor tiba-tiba keluar dari gang tanpa melihat kondisi jalan. Benturan pun terjadi dan pengendara motor meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini, hasil olah TKP, saksi, dan rekaman CCTV dapat menunjukkan bahwa pengemudi mobil tidak bersalah. Oleh karena itu, ia tidak dapat dijadikan tersangka. Di sisi lain, pengendara motor yang meninggal dunia memang menjadi pihak penyebab, tetapi tidak bisa dijerat hukum karena hukum pidana tidak berlaku bagi orang yang telah meninggal.
Namun, jika hasil penyidikan justru menunjukkan bahwa pengemudi mobil melaju melebihi batas kecepatan, menerobos lampu merah, atau tidak menjaga jarak aman, maka statusnya dapat berubah. Ia bisa dijadikan tersangka meskipun pengendara motor yang meninggal dianggap turut lalai. Penegakan hukum selalu mengacu pada bukti, bukan pada siapa yang meninggal atau selamat.
Prinsip dasar dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban pribadi, yang berarti hanya pelaku yang hidup dan terbukti bersalah yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Prinsip ini dijelaskan oleh para ahli hukum pidana dan diperkuat dalam berbagai kajian hukum. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat diwariskan atau dialihkan kepada keluarga korban, sebab hukum pidana berhenti bersamaan dengan kematian pelaku. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang yang meninggal dalam kecelakaan dijadikan tersangka, sementara pihak lain yang tidak bersalah dipaksa menanggung kesalahan yang bukan perbuatannya.
Dalam konteks sosial, pemahaman hukum seperti ini sangat penting agar masyarakat tidak terjebak dalam penilaian emosional. Tidak setiap kecelakaan harus berujung pada penetapan tersangka, sebab hukum tidak bekerja berdasarkan perasaan, tetapi berdasarkan bukti dan asas keadilan. Polisi berkewajiban menjelaskan hasil penyidikan secara terbuka agar publik memahami bahwa keputusan hukum didasarkan pada fakta objektif, bukan keberpihakan.
Dan pada akhirnya, pengendara motor yang meninggal dunia setelah tabrakan tidak dapat dijadikan tersangka, semoga informasi ini bermanfaat bagi pembaca berita INSERTRAKYAT.com.
Penulis: Supriadi Buraerah Anggota Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung FORSIMEMA RI



































