PELALAWAN, IRK, — Pertanyaan kecil namun berdampak besar di ruang publik: Di mana HFS? Sosok yang disebut pengatur distribusi narkoba jenis sabu-sabu 1 kilo gram di Kabupaten Pelalawan itu, hingga kini belum ditangkap polsi.
Masyarakat Nasional mulai mempertanyakan keseriusan aparat dalam mengungkap aktor utama di balik kasus ini. Padahal, tersangka WD (22), kurir sabu yang telah ditangkap lebih dulu, mengaku dua kali menerima perintah langsung dari HFS. WD tak segan dijadikan [kambing hitam] kasus ini.HFS disebut sebagai otak pengiriman dan pemilik barang haram tersebut. Ia diduga berperan sebagai pengendali utama operasi narkotika di Riau.
Sejumlah kalangan mendesak pihak kepolisian segera meringkus HFS. Menurut mereka, selama HFS masih bebas, ancaman beroperasinya kembali jaringan narkoba sangat tinggi.
“Kalau HFS tidak segera ditangkap, bisa muncul kurir-kurir baru dengan pola yang sama,” ujar salah satu aktivis sambil mengecam peredaran narkoba di Pekanbaru.
Desakan publik juga menyasar transparansi kepolisian. Masyarakat meminta update penyelidikan secara rutin dan terbuka, mengingat kasus ini menyangkut keselamatan generasi muda.
Kasus ini bermula dari penangkapan seorang pemuda asal Pekanbaru, WD (22), pada Sabtu, 21 Juni 2025. Ia diringkus oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Pelalawan di KM 80, Jalan Lintas Timur, Desa Sering, Kecamatan Pelalawan.
WD tertangkap tangan membawa 10 paket sabu-sabu seberat total 1.000 gram. Ia mengaku hanya sebagai pengantar barang haram itu. Upah yang dijanjikan sebesar Rp10 juta belum sempat diterimanya karena lebih dulu ditangkap.

Secara aktual, Wakapolres Pelalawan, Kompol Asep Rahmat, SH, SIK, MM, menjelaskan penangkapan WD merupakan hasil informasi masyarakat. Ia membeberkan kronologi tersebut. Sebelumnya ia juga mengutarakan dalam konferensi pers, Rabu 25 Juni 2025, didampingi Kasi Humas; dan sejumlah Pejabat Polri.
Dalam pemeriksaan intensif, WD mengaku telah dua kali menjadi kurir sabu atas perintah HFS. Pengiriman sebelumnya sebanyak 1,5 ons, dengan imbalan Rp1,5 juta.
Sistem pengantaran dilakukan menggunakan metode komunikasi putus. WD tidak pernah bertemu langsung dengan HFS, dan semua arahan hanya dikirim melalui pesan suara dalam aplikasi perpesanan.
Model ini dikenal dalam jaringan peredaran gelap sebagai strategi antisipasi pelacakan. Kurir tidak tahu siapa pengendali, rute akhir, ataupun siapa penerima barang.
Tak lama setelah diringkus WD mendekam di sel tahanan Polres Pelalawan. Ia dijerat Pasal 114 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup.
Polisi juga menyita barang bukti berupa sabu 1 kilo gram, ponsel, dan sejumlah barang pribadi lainnya. Penelusuran jejak digital masih dilakukan untuk memverifikasi komunikasi antara WD dan HFS.
Polres Pelalawan mengklaim bahwa upaya pencarian terhadap HFS masih berjalan. “Kami tidak berhenti pada penangkapan WD. Kasus ini masih dikembangkan,” ujar Kasat Narkoba Iptu Hariyanto Alex Sinaga.
Menurutnya, koordinasi sudah dilakukan dengan jajaran Polda Riau. Tim gabungan diturunkan untuk menelusuri jejak HFS yang diduga lintas wilayah, bahkan mungkin terhubung dengan sindikat besar di Sumatera.
Namun, hingga kini (25/6/2025), belum ada informasi resmi terkait posisi HFS. Ketiadaan keterangan ini memunculkan spekulasi dan kecurigaan dari berbagai pihak.
“Sudah hampir seminggu, kenapa belum ada hasil pengejaran? Padahal pengakuan WD sangat jelas,” kritik masyarakat sambil berharap ungkapnya itu didengar telinga Kapolri, di Jakarta.
Kendati demikian, berdasarkan penyelidikan awal, jaringan yang melibatkan HFS menggunakan sistem perekrutan kurir harian. Mereka dihubungi secara daring, menerima perintah satu arah, dan tidak tahu siapa pengendali maupun penerima akhir.
Setiap pengiriman menggunakan perangkat komunikasi berbeda. Hal ini menyulitkan pelacakan oleh aparat dan meminimalisir keterlibatan langsung antar pelaku.
Strategi ini menandakan adanya struktur jaringan yang lebih besar, sistematis, dan rapi. HFS diduga berada pada posisi menengah ke atas dalam rantai komando distribusi narkoba.
Meski penangkapan WD diapresiasi, publik dan masyarakat berhak agar polisi menuntaskan kasus hingga ke aktor utama. Penindakan tuntas terhadap HFS dinilai adalah kado Dirgahayu HUT Bhayangkara ke 79. Pengungkapan dan penangkapan HFS diharap agar dapat dan untuk memutus mata rantai peredaran narkoba di wilayah Riau.
“Pemberantasan narkoba tak boleh berhenti di kurir. Kalau pengendalinya tak disentuh, maka operasi ini belum selesai,” kata Masyarakat.
Mereka meminta aparat tidak ragu mengambil tindakan tegas, bahkan membuka kemungkinan menerbitkan DPO nasional jika keberadaan HFS belum ditemukan pekan depan pada awal Juli.
Masyarakat juga meminta keterbukaan informasi dari aparat kepolisian. Setiap perkembangan dari penyelidikan harus diinformasikan secara berkala. Hal ini untuk menjaga kepercayaan publik.
“Jangan sampai masyarakat menduga HFS sengaja dibiarkan bebas,” ucap seorang masyarakat di Pekanbaru itu.
Semakin lama HFS tidak ditangkap, maka semakin besar potensi jaringan narkoba kembali aktif. Keberhasilan polisi dalam menindak WD harus diikuti dengan langkah serius terhadap penangkapan HFS.
Apabila pengejaran terhambat, masyarakat berharap Polri mengaktifkan peran intelijen serta menyebar informasi DPO ke seluruh wilayah. Tidak ada ruang untuk kompromi terhadap pelaku peredaran narkotika.
Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila semua pihak yang terlibat, termasuk HFS, dihadapkan ke proses hukum yang setimpal.
Pemberantasan narkoba butuh ketegasan, integritas, dan profesionalitas. Masyarakat di Riau menyebut “kita [Masyarakat] butuh perlindungan polisi presisi dari bahaya bandar narkoba berkeliaran. “POLRI UNTUK MASYARAKAT,” Polri Menyongsong Indonesia Emas,” tuntasnya. (Irk/red).