INSERTRAKYAT.COM – Pemerintah pusat telah menetapkan bahwa 20% Dana Desa tahun 2025 harus digunakan untuk program ketahanan pangan, yang wajib dikelola secara kolaboratif bersama Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebagaimana diatur dalam Permendes No. 2 Tahun 2024.
Lantas, bagaimana jika BUMDes-nya sendiri tengah “sakit”?. Pertanyaan ini mencuat seiring berembusnya kabar di Desa Julukanaya, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Di sana BUMDesmya alami Stagnan.

Sejak menerima penyertaan modal sebesar Rp101.611.200 dari Dana Desa tahun 2022, BUMDes A’julukana justru tidak menunjukkan geliat usaha yang sehat. Alih-alih berinovasi dan berkembang, usaha yang dijalankan – mulai dari jasa fotokopi hingga BRIlink – kini dikabarkan mandek.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tidak jalanmi pak selama saya pergi. Rusak juga mesinnya toh,” ungkap Nuraeni Dg Cora, bendahara BUMDes yang sempat absen dari tugasnya. Sementara itu, Ramli Dg Rurung, Direktur BUMDes, menyebut BRIlink telah ditutup dan digantikan usaha baru: jualan gas elpiji. “Pendapatannya juga tidak seberapa ji. Jadi diganti saja,” katanya santai.
Namun santainya pernyataan itu tidak sejalan dengan kegelisahan masyarakat yang mulai bertanya-tanya: ke mana sebenarnya aliran dana desa itu bermuara?. Apalagi, hingga kini, laporan pertanggungjawaban penggunaan modal tersebut belum terlihat terang-benderang di ruang publik.
Sebagai badan usaha yang seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi desa dan sumber PADes (Pendapatan Asli Desa), kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan publik. Terlebih lagi, alokasi Dana Desa tahun ini bakal menggantung pada kinerja Bumdes. Jika sudah diketahui mandek, kenapa belum juga ada evaluasi serius?.
Realita Bumdes A’julukana bisa jadi hanya satu dari banyak cerita “BUMDes nama doang” di tanah air. Tapi ironinya, desa tetap diwajibkan berkolaborasi dengan mereka. Maka publik patut bertanya: Ketahanan pangan mau dibawa ke mana kalau motor ekonominya mogok?. (*)
Penulis : Bahtiar/Iksan
Editor : Supriadi