MAMUJU, INSERTRAKYAT.com — Kabupaten Mamuju akhir – akhir ini terus menuai sorotan publik dan masyarakat. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan polemik kebijakan dan kinerja pemerintahannya. Data menunjukkan angka stunting tinggi, kemiskinan meningkat, dan keresahan masyarakat meluas.
Pada pertengahan September lalu, ratusan honorer dan tenaga kontrak memadati halaman Kantor Bupati Mamuju. Mereka menuntut kejelasan nasib, namun harus pulang dengan dada sesak, tak satu pun pejabat menemui mereka. Anehnya, seluruh pejabat daerah “pelesiran” keluar kota saat momen krusial itu.
Anggaran Rp2 miliar disediakan untuk pangan bergizi bagi ibu hamil dan balita, namun implementasinya tak tepat sasaran. Contohnya, Muhammad Saad Abyan, 18 bulan, dari Dusun Sodangan, Desa Uhaimate, Kecamatan Kalukku, divonis gizi buruk dengan berat 5,9 kilogram. Pemerintah gagal menanggulangi stunting, meski anggaran sudah tersedia.
Di bidang infrastruktur, dana miliaran rupiah digelontorkan untuk pengaspalan jalan kota, namun wilayah pelosok tetap tertinggal. Kondisi ini memicu tragedi, seperti meninggalnya M. Nasir saat ditandu sejauh 21 kilometer dari Desa Kopeang ke Puskesmas Tapalang, memakan waktu 12–14 jam akibat jalan rusak parah.
Kendati ekonomi Mamuju tumbuh 4,76% pada 2025, kesejahteraan hanya dirasakan segelintir orang. Jumlah penduduk miskin ekstrem meningkat hampir dua kali lipat menjadi 21.947 jiwa. Angka stunting pun tertinggi di Sulawesi Barat, mencapai 4.622 kasus.
Pelaku tambang ilegal di Desa Makaliki, Kecamatan Kalumpang, tetap bebas beroperasi, mengganggu mata pencaharian warga. Bupati Mamuju tetap menyebut pemerintahannya “keren”, meski kenyataan menunjukkan ketidakmampuan mendorong pemerataan dan keadilan.
Gaya kepemimpinan milenial Bupati, produk dinasti politik daerah, kuat di media sosial dengan jargon keren, namun tak memberi solusi nyata. Tim branding digital membangun citra, tapi sang pemimpin kerap menghilang saat masyarakat menagih jawaban atas persoalan yang ada.
Polemik Mamuju terangkum mulai dari layanan kesehatan buruk, fasilitas pendidikan terbatas, ketersediaan bahan bakar untuk nelayan minim, pupuk untuk petani langka, pembangunan tidak merata, hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di beberapa perangkat daerah. Semua memerlukan perhatian serius dan langkah nyata dari pemimpin visioner, agar polemik segera berakhir dengan cara ditangani bukan ditutup – tutupi di ruang publik.
Berkontribusi dalam artikel sudut pandang opini ini adalah Ari Anggara, Kabid Pendidikan dan Penelitian DPD KAMI Sulbar.