Kunto Hadi Purnomo, Calon Hakim Muda yang hilang di Aceh. Foto dokumentasi Angghara Pramudya (MA).
INSERT RAKYAT, JAKARTA — Dua dekade lebih telah berlalu. Namun, kabar hilangnya Calon Hakim Muda, Kunto Hadi Purnomo, di Aceh pada 2000, masih menyisakan luka yang belum pulih. Kisahnya menjadi catatan penting, bukan hanya soal keberanian seorang aparatur peradilan, tetapi juga tentang betapa mahalnya harga pengabdian dalam masa-masa rawan republik ini.
Kunto Hadi, muda, cerdas, dan penuh semangat. Ia ditugaskan ke Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan. Saat itu Aceh belum sepenuhnya pulih dari luka konflik bersenjata. Daerah Operasi Militer memang telah resmi dicabut, namun bayang-bayang ketakutan masih menggelayut.
Pagi 25 Juni 2000, ia menumpangi minibus dari Banda Aceh. Malam harinya ia dikabarkan tiba. Tapi esoknya, ia tak pernah ditemukan. Hilang. Tanpa jejak. Tanpa kabar.
Saat itu, istrinya Lusiana sedang hamil tiga bulan. Ia sempat mengungkap firasat buruk saat melepas Kunto berangkat. Kini, 25 tahun berlalu, Lusi tetap sendiri, membesarkan putra semata wayangnya, satu-satunya kenangan hidup dari suami yang tak pernah pulang.
Ia pernah menyurati Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kapolri, hingga Pengadilan Negeri Tapaktuan. Satu pun tak memberi jawaban tegas. Hanya sepenggal kalimat dari Kapolda: “Mohon bersabar.”
Kesaksian penumpang menyebutkan bahwa orang yang turun dari minibus bukan Kunto. Setelah foto dikirim oleh Lusi ke pihak Tapaktuan, barulah kecurigaan itu terkonfirmasi. Tapi segalanya terlambat. Bukti menguap. Investigasi surut.
Ketua PT Banda Aceh kala itu, H. Kardjono Darmoatmojo, sudah bersurat resmi ke Jaksa Agung dan Kapolri. Tapi entah mengapa, kasus ini tak pernah menyentuh titik terang. Ia lenyap ditelan konflik yang menumpuk luka Aceh.
GAM, Panglima, dan Nasib Seorang Sobandi
Cerita tak kalah menegangkan datang dari Sobandi, rekan satu angkatan Kunto. Ia juga ditugaskan ke Aceh, ke PN Blangkejeren. Dalam perjalanan, ia justru sempat diboyong ke rumah Panglima GAM wilayah Aceh Timur. Sang imam masjid ternyata eks petempur Libya.
Namun berbeda nasib, Sobandi tak hanya selamat, tapi malah diantar sampai ke lokasi tugasnya. Ia kini menjabat sebagai Kepala Biro Hukum dan Humas MA RI. Sebuah karier panjang dari kisah yang nyaris tragis.
Hilangnya Kunto: Potret Kekerasan Senyap Era Reformasi
Alm. Munir, aktivis HAM legendaris, sempat bersuara lantang. Baginya, kasus Kunto mencerminkan pola kekerasan baru: senyap, sistematis, dan nyaris tak terendus. Dalam catatan KontraS, antara Oktober 1999 sampai Agustus 2000, ada 53 kasus penghilangan paksa di Aceh. Termasuk nama-nama besar seperti Tengku Nashiruddin, Ismail Syahputra, dan Jafar Siddiq Hamzah.
Angka yang mengerikan, dan bisa jadi lebih besar dari yang tercatat. Investigasi terhambat oleh medan dan situasi keamanan yang tidak memungkinkan.
Negara Perlu Mengakui, Jangan Lagi Bungkam
Sudah saatnya negara berhenti menutup mata. Nama Kunto Hadi Purnomo adalah simbol dari hilangnya aparatur negara saat menjalankan tugasnya. Ia bukan korban kriminal biasa. Ia hakim muda, penegak keadilan, yang hilang saat menjawab panggilan tugas dari negara.
Kalau negara mengabaikan kisah seperti ini, lalu bagaimana bisa publik percaya bahwa pengabdi hukum dilindungi negara?
Satu-satunya bentuk penghormatan yang layak dan pantas saat ini adalah mengabadikan nama Kunto Hadi Purnomo pada ruang sidang atau aula di PN Tapaktuan. Bukan sekadar simbol, tapi sebagai pengingat: bahwa ada seorang hakim yang rela mengorbankan hidupnya demi hukum di daerah rawan.
Jangan biarkan Kunto hanya menjadi nama di dokumentasi istri dan anaknya. Jadikan ia nama di gedung pengadilan, agar pengorbanannya diingat oleh generasi aparat hukum berikutnya.
Akhir yang Belum Tuntas, Tapi Tak Boleh Diabaikan
Istrinya masih menunggu, dengan harap yang samar. Bagi banyak orang, mungkin Kunto sudah mati. Tapi bagi Lusiana dan anaknya, kepastian belum ada. Tak ada makam. Tak ada penguburan. Hanya kabar yang terhenti.
Dan justru karena itu, kisah ini belum selesai. Kunto belum benar-benar “pulang.” Tapi paling tidak, bangsa ini bisa memberinya tempat dalam ingatan kolektif: bahwa seorang hakim pernah hilang, saat menunaikan tugas negara.
PENULIS: SUPRIADI BURAERAH, Jurnalis Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung RI (FORSIMEMA RI – Insertrakyat.com)
SUMBER : SOBANDI, HUMAS MA, Jakarta 14 Juli 2025 malam.