Makassar, InsertRakyat.com — Provinsi Sulawesi Selatan mencatat laju inflasi tahunan 2,24 persen pada Juni 2025. Capaian ini dirilis Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, Aryanto, dalam pernyataan resminya [saluran youtube resmi kantor], yang diikuti seluruh BPS kabupaten dan kota se-Sulsel, Selasa pagi (1/7) kemarin.
Dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 108,21, inflasi menunjukkan kenaikan harga yang tetap terasa bagi masyarakat, meski di tengah kecenderungan deflasi bulanan 0,06 persen. Sementara inflasi tahun kalender (year to date) hingga Juni 1,84 persen.
“Masyarakat mungkin melihat harga cabai rawit dan daging ayam turun, tapi tekanan dari kelompok pengeluaran lain seperti emas perhiasan dan beras justru meningkat tajam,” kata Aryanto dalam memaparkan datanya.
Data juga memperlihatkan kesenjangan inflasi antarwilayah. Inflasi tahunan tertinggi di Kabupaten Sidenreng Rappang 3,01 persen dengan IHK 105,27. Sebaliknya, Kota Palopo mengalami inflasi terendah, hanya 1,38 persen dengan IHK 107,78.
Komoditas yang memicu inflasi tertinggi, datang dari kebutuhan dasar dan layanan pribadi. Harga emas perhiasan melonjak hingga 45,57 persen secara tahunan, sehingga menyumbang inflasi 0,63 poin. Diikuti beras yang naik 3,47 persen atau 0,15 poin, serta dan ikan bandeng 13,55 persen atau 0,14 poin.
Di sisi lain, deflasi Juni 0,06 persen ditopang oleh penurunan harga dari kelompok transportasi, khususnya tarif kendaraan roda dua online, yang turun 3,78 persen dan menyumbang deflasi 0,02 poin. Komoditas lain yang ikut menahan laju inflasi adalah cabai rawit -28,02 persen dan cabai merah -20,24 persen, walaupun kontribusinya kecil terhadap total deflasi.
Namun, turunnya tarif dan harga cabai belum mampu menekan dampak dari kenaikan harga tomat 27,25%, bawang merah 8,38% dan beras (1,77%) secara bulanan.
Sementara itu, kelompok pengeluaran secara tahunan tiga sektor terbesar penyumbang inflasi adalah Perawatan pribadi dan jasa lainnya 0,79%, didorong lonjakan harga emas perhiasan. Selanjutnya Makanan, minuman dan tembakau 0,77%, dengan kontribusi utama dari beras. Kemudian penyediaan makanan dan minuman 0,24%, disumbang komoditas seperti ayam goreng.
Secara tahunan, hanya kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan yang mengalami deflasi, yaitu -0,52 persen.
Inflasi menurut jenis pengeluaran ini menunjukkan tekanan paling besar dan berada pada kebutuhan pokok dan konsumsi rutin rumah tangga. Kenaikan harga bersifat sesaat, juga menunjukkan pola struktural yang belum sepenuhnya terkendali.
Kendati inflasi tahunan Sulsel, masih dalam batas aman menurut target nasional (2,5 ±1%), namun dinamika antarwilayah dan pola harga komoditas utama menunjukkan ketimpangan pengendalian harga. Hal ini menuntut respons strategis dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), tidak sekadar rutinitas memantau.
Aryanto dalam rilisnya menyebut perlu kerjasama lebih baik antara BPS, pemerintah daerah dan pelaku pasar. Ia menekankan akurasi data dan literasi statistik publik, penting agar kebijakan yang lahir benar-benar tepat sasaran.
“Kami harap data ini tidak hanya berhenti sebagai angka, tetapi menjadi dasar bagi tindakan yang menyentuh langsung kebutuhan warga,” pungkas Aryanto. (AAF/SUP).