INSERTRAKYAT.COM, Aceh – Jeritan Korban Tsunami Korupsi dana pendidikan di Aceh belum mereda, malahan makin memuncak, bahkan menyusul bobroknya pelayanan publik Disdikbud Aceh Timur. Ironisnya polemik itu belum mendapatkan perhatian dari Presiden Prabowo Subianto, leader pencetus Asta Cita. Sabtu, (2/8).
Padahal, Momok [korupsi] dana pendidikan di Aceh telah merobek gawang kepercayaan publik dan masyarakat, kenapa demikian?. Selain adanya temuan BPK pada Disdikbud Aceh Tengah, dua kasus dugaan Korupsi, faktanya mencuat hampir bersamaan. Dimana Aceh Timur dan Banda Aceh jadi saksi kejahatan korupsi. Dan aktor-aktornya bukanlah penjahat jalanan. Tapi pejabat bersertifikat yang ditugaskan untuk mendidik.
PKBM Wadah: Data 800 Siswa Diduga Fiktif, Dana Rp1,7 Miliar Menguap
Awal Juli 2025, Kejaksaan Negeri Aceh Timur menggeledah dua kantor PKBM Wadah. Lembaga ini awalnya digagas untuk membantu warga putus sekolah—namun belakangan justru jadi ladang permainan kotor. Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus dibantu Tim Intelijen Kejari menemukan dugaan kuat manipulasi data 800 siswa demi mencairkan Dana BOP Kesetaraan dari APBN 2023–2025 senilai Rp1,7 miliar.

Penggeledahan dilakukan di dua lokasi: kantor pusat di Gampong Jalan, Idi Rayeuk, dan kantor Okta Center di Gampong Paya Bili Sa, Peudawa. Barang bukti yang disita bukan main: dua laptop berisi dokumen digital, satu kotak kontainer dokumen fisik, dan indikasi kuat penggelembungan data dan laporan fiktif.
Kasi Intelijen Kejari Aceh Timur, Agusta Kanin, menyebut penyidik telah memeriksa 10 orang saksi, termasuk pejabat Dinas Pendidikan. Para siswa pun akan dimintai keterangan. Namun hingga berita ini ditulis, belum satu pun tersangka diumumkan. “Kami masih kumpulkan alat bukti,” kata dia dikutip Insertrakyat.com, (2/8/2025).
Skandal BGP Aceh: Pelatihan Fiktif, Hotel Kosong, Uang Cair
Jika PKBM Wadah adalah luka, maka kasus Balai Guru Penggerak (BGP) Provinsi Aceh adalah sayatan lebih dalam. Pada 31 Juli 2025, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh resmi menahan dua tersangka: TW (eks Kepala BGP 2022–2024) dan M (PPK), usai tahap II penyerahan tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum Kejari Aceh Besar.

Modusnya menjijikkan. TW dan M membuat laporan kegiatan monitoring Lokakarya Program Guru Penggerak dan pelatihan guru seolah-olah digelar di hotel-hotel dengan skema fullboard. Faktanya, hotel kosong, peserta tidak ada, dan kegiatan fiktif. Tapi dana tetap cair, dan laporan tetap rapi. Kerugian negara? Rp4,17 miliar.
Kasi Penkum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, menegaskan bahwa kedua tersangka ditahan di Lapas Lhoknga selama 20 hari, sejak 31 Juli hingga 19 Agustus 2025. Keduanya dijerat Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor, jo Pasal 18 UU 31/1999, serta Pasal 55 dan Pasal 64 KUHP.
Ruang Guru Disulap Jadi Kelas Darurat, SPJ Hotel Fiktif Diisi
Tak jauh berbeda dengan kemelut proyek pelatihan fiktif di hotel itu. Di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Idi Tunong, ruang guru harus disulap jadi ruang belajar karena kekurangan lima ruang kelas. Bangunan sekolah masih semi permanen. Anak-anak duduk berdempetan. Sementara para pejabat di provinsi menyusun SPJ untuk menginap di hotel yang tak mereka masuki.
Saiful Anwar, Ketua LAKI Aceh Timur, menyebut ini sebagai aib sistemik. “Jangan tunggu viral baru bertindak. Ini bukan soal anggaran lagi. Ini soal harga diri Aceh Timur,” tegasnya sesaat setelah terjun ke lokasi. Selengkapnya Ruang Guru SDN 1 Idi Dijadikan Kelas Darurat, Inilah Bobroknya Disdikbud Aceh Timur
Temuan BPK Disdik Aceh Selatan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia mengungkap skandal pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dilakukan secara serampangan dan melanggar aturan.
Dalam LHP Nomor 24.A/LHP/XVIII.BAC/06/2025 tertanggal 19 Juni 2025 atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan Tahun Anggaran 2024, BPK mencatat penyimpangan serius dalam pencatatan, penyimpanan, dan penggunaan dana BOS di sejumlah sekolah dasar dan menengah pertama.
BPK menemukan bahwa kas dana BOS pada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tidak seluruhnya tercatat dalam Buku Kas Umum maupun rekening koran sekolah. Sejumlah dana justru ditemukan disimpan secara tunai oleh kepala sekolah dan bendahara di luar mekanisme keuangan resmi.
SD Negeri 1 Terbangan tercatat menyimpan dana BOS Tahap I Tahun 2025 sebesar Rp110.740.000 di rumah kepala sekolah. Ironisnya, sebesar Rp30 juta dari jumlah itu telah dipakai untuk keperluan pribadi dan baru diganti kemudian menggunakan rekening pribadi kepala sekolah tersebut.
Di SD 5 Unggul Tapaktuan, BPK menemukan penyimpanan dana BOS senilai Rp106.820.000 hanya dalam tas atau dompet bendahara, dengan bukti belanja yang belum lengkap dan tidak didukung pembukuan memadai.
Kondisi serupa juga terjadi di SD Negeri 1 Blang Baru yang menyimpan dana sebesar Rp58 juta di rumah, bahkan dana tersebut dipegang oleh istri kepala sekolah tanpa dokumen pertanggungjawaban yang sah menurut aturan.
Di SD Negeri 2 Panton Pawoh, dana BOS sebesar Rp35.770.000 disimpan dalam rekening pribadi kepala sekolah. Pengeluaran yang dilakukan atas dana itu pun tidak memiliki bukti lengkap, yang menunjukkan lemahnya pengendalian internal.
SMP Negeri 2 Pasie Raja membawa pulang dana BOS sebesar Rp169.260.000. Dari jumlah itu, sebesar Rp9,8 juta telah digunakan untuk keperluan pribadi sebelum dikembalikan. Dana tersebut tidak pernah tercatat dalam kas resmi sekolah.
Sementara itu, SMP Negeri 3 Tapaktuan menyimpan dana BOS sebesar Rp34.100.000 di rumah bendahara BOS. Tidak terdapat dokumentasi yang menunjukkan adanya mekanisme pengamanan terhadap dana tersebut.
Selain penyimpangan penyimpanan, BPK juga menemukan keterlambatan dalam penyetoran kewajiban pajak atas belanja BOS ke kas negara dan kas daerah. Keterlambatan itu terjadi dalam rentang waktu 2 hingga 82 hari.
Jenis pajak yang menunggak antara lain Pajak Restoran (PB-1) sebesar Rp16.516.300 serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 23 dengan nilai total Rp59.128.571. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa tata kelola dana BOS di Aceh Selatan dijalankan di luar ketentuan hukum.
BPK menilai seluruh praktik tersebut bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Selain itu, juga melanggar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 sebagaimana telah diubah dalam Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2023.
Menurut BPK, penyebab utama dari permasalahan ini adalah lemahnya pengawasan dari kepala Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) terkait. Selain itu, bendahara BOS di sejumlah sekolah juga tidak berpedoman pada ketentuan tata kelola keuangan sekolah, termasuk dalam pelaporan dan penyetoran pajak.
“Pengelolaan dana BOS yang disimpan di rekening atau dompet pribadi berisiko tinggi menimbulkan kehilangan dan penyalahgunaan,” ulas BPK dalam laporan yang dikutip Insertrakyat.com, Sabtu, (2/8).
BPK merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan segera menertibkan pengelolaan dana BOS di seluruh satuan pendidikan. Penindakan administratif maupun hukum perlu dilakukan apabila ditemukan unsur pelanggaran berat atau unsur pidana.
(Mhd Iqbal/Sup/Jun/ Insertrakyat.com).