JAKARTA, INSERTRAKYAT.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan Asta Cita Presiden kini menghadapi sorotan tajam publik.
Semula, MBG mendapat apresiasi dari orang tua murid karena dinilai meringankan beban biaya makan dan sekaligus meningkatkan asupan gizi anak sekolah.
Namun, rentetan kasus dugaan keracunan massal yang menimpa siswa sekolah dasar hingga tingkat SMP di sejumlah daerah mencoreng pelaksanaannya.
Kasus terbaru terungkap di SDN Parakansalak, Kabupaten Sukabumi. Puluhan murid mengalami mual, muntah, dan sakit perut setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut.
Peristiwa ini memicu kekhawatiran besar di kalangan orang tua. Standar keamanan pangan pemerintah kembali dipertanyakan.
Prof. Dr. Sutan Nasomal, pakar hukum internasional sekaligus ekonom, menilai pemerintah tidak boleh abai terhadap persoalan ini.
“Keselamatan anak bangsa tidak boleh dikorbankan oleh proyek politik,” kata dia dikutip pada Sabtu (23/8/2025).
Menurutnya, program yang tujuannya menyehatkan anak justru berpotensi menjadi ancaman kesehatan jika tata kelolanya lemah.
Prof. Sutan mengingatkan agar MBG tidak dijadikan sekadar alat pencitraan pemerintah.
Lebih jauh, ia menyoroti adanya potensi praktik korupsi dalam pengelolaan anggaran yang mencapai triliunan rupiah.
“Praktik mafia anggaran rawan menyusup ke program sebesar ini,” tegasnya.
Ia menyebut, tanpa pengawasan ketat, uang rakyat bisa bocor ke kantong pribadi segelintir oknum.
Menurutnya, pengawasan harus dilakukan dari hulu hingga hilir, mulai bahan baku, pengolahan, hingga distribusi makanan ke sekolah.
“Kalau pengawasan lemah, akibatnya fatal,” katanya.
Prof. Sutan menegaskan, masa depan anak-anak sesungguhnya sedang dipertaruhkan di meja makan sekolah.
Ia mendesak pemerintah untuk transparan, akuntabel, dan berpihak kepada rakyat kecil.
“Program ini jangan dikendalikan oleh kepentingan politik sesaat,” pungkasnya.
Zulkifli Hasan: Waktu Kecil Minum Susu Mencret
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Pangan RI Zulkifli Hasan atau Zulhas ikut merespons maraknya dugaan keracunan makanan MBG.
Menurutnya, kasus keracunan tidak serta-merta disebabkan kesalahan pengolahan makanan. Faktor lain seperti alergi atau ketidakbiasaan anak mengonsumsi jenis makanan tertentu juga bisa menjadi pemicu.
“Bukan berarti salah masak kan? Karena memang kita belum terbiasa,” kata Zulhas saat meninjau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Wonocolo, Surabaya, Kamis (21/8).
Zulhas mencontohkan pengalaman pribadinya. Saat kecil, ia tidak bisa mengonsumsi susu.
“Dulu saya dikasih susu, saya mencret karena masih kecil. Jadi minumnya air beras,” jelasnya.
Ia menilai kondisi seperti ini wajar terjadi, sehingga penting bagi sekolah untuk melakukan pendataan alergi siswa.
“Nah, ini ada yang alergi juga. Kalau saya susu enggak bisa. Tapi kalau air tajin bisa,” ujarnya.
Zulhas menegaskan bahwa pengawasan kualitas makanan MBG sudah dilakukan sangat ketat.
Mulai dari bahan baku, proses mencuci, hingga penyajian melibatkan ahli gizi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta pemerintah daerah.
“Tadi saya lihat langsung. Pengawasannya betul-betul ketat sekali, mulai dari bahan baku, pencucian, hingga penyajiannya,” ujarnya.
Selain itu, ia mengapresiasi inovasi pengelolaan sampah makanan yang diterapkan di SPPG Wonocolo.
Sampah makanan dimanfaatkan untuk pakan magot, yang kemudian bisa menjadi sumber pangan ikan.
“Inovasi ini bagus sekali, sirkular, dan ramah lingkungan,” kata Zulhas.
Kasus keracunan akibat MBG tidak hanya terjadi di Sukabumi.
Sebelumnya, sekitar 90 siswa SMP di Sleman, Yogyakarta, harus mendapat perawatan setelah mengalami gejala keracunan usai menyantap makanan MBG pada Selasa (12/8).
Kejadian serupa juga menimpa lebih dari 200 siswa SMP Negeri 8 Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa (22/7), setelah mengonsumsi daging sapi dari program tersebut.
Rentetan peristiwa ini membuat masyarakat semakin mempertanyakan efektivitas program MBG.
Apakah program yang didanai besar ini benar-benar aman, atau justru menyimpan banyak persoalan di lapangan.
Sorotan publik, kritik pakar hukum, dan respons pemerintah kini membentuk perdebatan hangat.
Program MBG dipandang sebagai kebijakan yang mulia karena menjamin gizi anak sekolah.
Namun, lemahnya pengawasan, risiko korupsi, hingga persoalan alergi anak menuntut pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. (Sy/*).