PALOPO,– Di tengah gencarnya pemberantasan narkotika, justru muncul ironi penegakan hukum yang mencemaskan akal sehat. Yayasan Bantuan Hukum Wija Luwu (YBH Wija Luwu) menyuarakan kekhawatiran serius terhadap penerapan Undang-Undang Narkotika yang dinilai menyimpang dari asas keadilan hukum dan melabrak prinsip proporsionalitas dalam pemidanaan.
Akbar, S.H., Ketua YBH Wija Luwu, mengemukakan bahwa hampir seluruh warga yang ditangkap karena dugaan penyalahgunaan narkotika langsung dikenakan Pasal 114 atau setidaknya Pasal 112, yakni pasal-pasal yang secara eksplisit diperuntukkan bagi pengedar atau kurir narkotika. Ironisnya, Pasal 127 yang ditujukan bagi penyalahguna (pengguna) hampir tak pernah digunakan, padahal dalam banyak kasus, para terdakwa adalah korban penyanderaan sistem, bukan pelaku peredaran gelap.
“Ini bukan sekadar salah ketik hukum. Ini kelalaian struktural yang menjelma jadi kezaliman prosedural,” ujar Akbar. “Mereka hanya pengguna, tetapi dijerat seperti mafia.”
Lebih jauh, Akbar mengkritik lembaga peradilan yang menurutnya hanya menjadi perpanjangan tangan jaksa penuntut umum. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Palopo disebut terlalu pasif, bahkan nyaris absen dalam menjalankan fungsi korektif terhadap tuntutan jaksa yang tidak berdasar fakta hukum di persidangan.
“Fakta hukum diabaikan, keterangan saksi diacuhkan, dan pembelaan hanya formalitas. Ini bukan pengadilan, ini sudah seperti ruang administrasi pengesahan hukuman,” tegasnya.
Dalam pengamatan YBH Wija Luwu, tidak sedikit pengguna narkotika justru divonis lebih berat dibanding aktor-aktor besar yang diduga terlibat dalam distribusi. Bahkan, ditemukan kasus di mana nama-nama tersangka yang jelas disebut dalam persidangan justru menghilang tanpa proses hukum.
“Lebih menyakitkan lagi, nama-nama itu sempat mendekam di Lapas, lalu dibebaskan begitu saja. Sementara yang tertangkap bukan Pengedar, justru dikunci mati sebagai pengedar,” ujar Akbar.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap kriminalisasi sistemik ini, YBH Wija Luwu tidak tinggal diam. Mereka aktif mengajukan banding, kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK) dalam berbagai perkara yang ditanganinya. Hasilnya, beberapa vonis berhasil dibatalkan di tingkat PK karena dinilai tidak berdasar secara hukum.
Salah satunya adalah dua kasus yang dijatuhi vonis di atas enam tahun oleh PN Palopo. Setelah melalui proses PK oleh tim advokat YBH Wija Luwu, Mahkamah Agung menganulir putusan tersebut dan menetapkan vonis baru: dua tahun enam bulan penjara.
Majelis PK menyatakan bahwa kedua terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pengedar, sebagaimana dakwaan awal. Temuan ini menunjukkan bahwa kerancuan penegakan hukum bukanlah dugaan, tetapi kenyataan yang sedang berlangsung.
“Ini bukan soal membela pelaku kejahatan. Ini soal membela logika keadilan. Jangan jadikan korban sebagai tumbal. Jangan cari kuota penangkapan dengan mengorbankan pengguna yang seharusnya direhabilitasi,” tegas Akbar.
Menutup pernyataannya, Akbar mengingatkan seluruh aparat penegak hukum, dari penyidik hingga jaksa, agar bekerja secara profesional dan bermoral. Hukum bukan sekadar alat kekuasaan, tetapi jalan menuju pertanggungjawaban.
“Ingat, semua tindakan akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan hukum negara, tetapi juga di hadapan Tuhan,” pungkasnya.
(Andi Fit).
- advokasi hukum
- hukum dan HAM
- hukum dan keadilan
- hukum progresif
- kasus narkotika
- Keadilan Hukum
- kriminalisasi warga
- kritik kebijakan publik
- kritik masyarakat sipil
- lembaga bantuan hukum
- Palopo terkini
- Penegakan Hukum
- penerapan UU Narkotika
- penyalahgunaan hukum
- perlindungan hak asasi
- Reformasi Hukum
- suara rakyat
- UU Narkotika kontroversial
- YBH Wija Luwu