MAKASSAR, INSERTRAKYAT.COM – Polemik merebak di media sosial terkait dugaan praktik jual buku oleh seorang dosen Universitas Negeri Makassar (UNM). Isu ini cepat viral, memicu perdebatan publik, dan bahkan menyeret nama baik kampus. Tuduhan tersebut menyebut seorang dosen mewajibkan mahasiswa membeli buku sebagai syarat ujian.
Tudingan itu langsung dibantah oleh Dr. Muhammadong, S.Ag., M.Ag., dosen agama di Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan UNM. Dalam konferensi pers di Virendy Cafe, Jl. A.P. Pettarani, Makassar, Senin (15/9/2025), ia menyebut pemberitaan yang beredar sebagai kabar bohong.
Menurutnya, konten yang diunggah di salah satu akun media sosial tidak memenuhi prinsip klarifikasi (tabayyun). “Berita itu tanpa konfirmasi. Akibatnya menjadi fitnah yang merusak nama baik saya dan institusi UNM,” tegasnya.
Dr. Muhammadong menjelaskan, sejak awal semester ia telah menyampaikan tiga indikator penilaian: kehadiran, tugas kuis dari buku, dan rangkuman. Untuk memudahkan mahasiswa, ia meminjamkan buku ajar agama Islam. “Buku hanya dipakai sementara, tidak ada transaksi satu rupiah pun,” ungkapnya.
Muhammadong menegaskan tuduhan menjadikan buku sebagai syarat ujian adalah asumsi tanpa dasar. Bahkan, demi menghindari kesalahpahaman, buku yang dipinjamkan telah ditarik kembali. Sebagai gantinya, mahasiswa diberikan bentuk penugasan lain.
Isu lain yang berkembang adalah tudingan perkuliahan dilakukan di masjid. Hal ini dibenarkan. Menurut Dr. Muhammadong, Masjid Al-Ikhlas di fakultas tersebut berfungsi ganda, lantai bawah digunakan untuk aktivitas keagamaan, sekaligus ruang pembelajaran.
“Diskusi, praktik, hingga perkuliahan agama berlangsung di sana. Tujuannya agar mahasiswa dekat dengan masjid dan mampu memakmurkannya,” ujarnya. Dengan demikian, kegiatan belajar tetap dalam koridor akademik yang sah.
Rektor UNM, Prof. Karta Jayadi, merespons polemik ini melalui surat edaran Nomor SE 4639/UN36/TU/2025. Surat tersebut mempertegas komitmen UNM pada tata kelola perguruan tinggi yang bersih, transparan, dan bebas konflik kepentingan.
Edaran itu secara tegas melarang dosen maupun tenaga kependidikan menjadikan penjualan buku sebagai syarat nilai. Dosen hanya diperkenankan merekomendasikan buku, baik dari perpustakaan, sumber digital, maupun opsi tambahan yang bersifat sukarela.
Kasus ini menggambarkan bagaimana isu yang tidak diverifikasi dapat dengan cepat menjadi viral. Tanpa klarifikasi, publik mudah terjebak pada opini sepihak yang merugikan individu maupun lembaga dan Masyarakat luas.
Kendati pun, Dr. Muhammadong berupaya mengembalikan proporsionalitas isu dengan menyampaikan fakta langsung. Sementara pihak rektorat mengeluarkan kebijakan agar kejadian serupa tidak kembali menimbulkan polemik. Dua langkah ini penting untuk menjaga integritas akademik dan mencegah penyalahgunaan isu di ruang publik.
UNM sebagai institusi pendidikan tinggi berkepentingan menjaga reputasi. Klarifikasi dosen dan edaran rektor menunjukkan adanya mekanisme internal yang bekerja secara profesional. Namun, polemik ini juga menjadi penanda bahwa ruang digital membutuhkan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi.
Penulis: Miftahul Jannah | Editor: Isma