Penetapan Sementara oleh Kemendagri Redam Ketegangan Trenggalek–Tulungagung. (Sekjen Kemendagri, Tomsi Tohir/Mft/Insertrakyat.com).


Jakarta, InsertRakyat.com – Penyelesaian “Polemik Besar” terkait dengan batas wilayah administratif antara Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, kini memasuki babak strategis, di lihat di ruang publik Merah Putih, hari ini.

Di sana, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Sekretaris Jenderalnya, Komjen Pol (Purn) Tomsi Tohir, tampil tegas dan bijak, ia lalu mengimbangi dinamika, dengan seguduk solusioner, berdasarkan data hasil kajian lintas lembaga antar Kabinet era Prabowo Subianto, RI1.

Dalam konferensi pers yang digelar di Halaman Gedung A, Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Selasa (24/6/2025), Tomsi Tohir secara gamblang menjelaskan posisi pemerintah pusat terhadap sengketa klaim kepemilikan atas 16 pulau kecil di wilayah perairan selatan Jawa Timur. Agenda ini dianggap penting untuk meredakan eskalasi sosial dan administratif yang mulai menyentuh identitas kedaerahan di tingkat lokal.

“Enam belas (16) pulau itu tidak kita masukkan ke Trenggalek, tidak juga ke Tulungagung. Tetapi sementara dimasukkan ke dalam cakupan wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur. Sambil kita menunggu musyawarah dan keputusan final yang rencananya digelar awal Juli,” ujar Tomsi Tohir mantap sambil memusat ke kamera publik yang merekam di siang hari.

Sontak, Publik menyaksikan bagaimana Kemendagri tampil dengan postur otoritatif namun tetap membuka ruang dialog. Hadir mendampingi Tomsi, sejumlah pejabat Nasional dan daerah. Di antaranya, Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Safrizal ZA, Sekda Provinsi Jawa Timur Adhy Karyono, dan Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.

Tidak seperti penanganan konflik administratif pada masa sebelumnya yang kerap minim informasi terbuka, kali ini publik diberi akses langsung terhadap perkembangan penanganan kasus.

BACA JUGA :  Potret TR Fahsul Falah & Inilah Wastewater-Based Epidemiology Bisa Deteksi Stunting dan Antimikroba Resisten

“Kami ingin memastikan bahwa kebijakan yang diambil pusat berbasis data dan kejelasan hukum, bukan sekadar interpretasi administratif,” masih kata Tomsi.

Keputusan menempatkan 16 pulau itu di bawah administratif Provinsi Jawa Timur bersifat sementara. Namun, bukan berarti tanpa legitimasi. Tomsi mengungkapkan bahwa prosesnya telah melewati koordinasi intensif antar lembaga teknis dan pemerintahan.

Hadir dan terlibat langsung dalam proses pembahasan masing – masing adalah:

  • Kementerian ATR/BPN
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
  • Badan Informasi Geospasial (BIG)
  • Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL
  • Direktorat Topografi TNI AD
  • Pemerintah Provinsi Jawa Timur
  • Pemerintah Kabupaten Trenggalek
  • Pemerintah Kabupaten Tulungagung

Keterlibatan lintas lembaga tersebut menandai bahwa isu 16 pulau tidak dianggap sepele. Apalagi, terdapat indikasi tumpang tindih dalam pemetaan sebelumnya.

“Awalnya hanya 13 pulau yang disengketakan. Tapi setelah kita telusuri lebih dalam, ternyata ada tumpang tindih pengakuan wilayah. Akhirnya menjadi 16 pulau,” jelas Tomsi sambil menunjukkan dokumen hasil pemetaan sementara.

Keputusan menempatkan sementara ke-16 pulau tersebut di bawah administrasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur bukan tanpa alasan.

Tomsi menyebut, langkah ini merupakan bentuk “status netral” untuk sementara. Sebab, bila langsung menetapkan salah satu kabupaten sebagai pemilik, dikhawatirkan akan memicu ketegangan dan ketidakpuasan di lapangan.

Selain itu, keputusan ini merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah pusat untuk menghindari konsekuensi hukum jangka panjang.

“Pulau-pulau ini tidak ada yang berpenghuni. Jadi penempatannya pada cakupan administratif provinsi adalah solusi antara yang rasional, sebelum ada ketetapan final secara hukum dan politik,” tegas Tomsi.

Dengan status administratif di bawah provinsi, seluruh urusan perizinan, tata ruang, hingga potensi pemanfaatan sumber daya bisa tetap dikelola negara, sambil menunggu hasil rapat final.

BACA JUGA :  Restuardy Daud: Tantangan Daerah Harus Dijawab Lewat Perencanaan yang Tepat

Kemendagri juga telah menjadwalkan rapat lanjutan yang direncanakan berlangsung pada awal Juli 2025. Rapat ini akan melibatkan para pemangku kepentingan langsung di daerah. Termasuk Gubernur Jawa Timur, Bupati Trenggalek, Bupati Tulungagung, serta ketua DPRD masing-masing daerah.

Dalam rapat itu, akan dibahas berbagai dokumen administratif, kajian teknis, serta argumentasi hukum atas klaim masing-masing daerah terhadap pulau-pulau tersebut.

Tujuannya bukan untuk menang-kalah, tapi mencari kesepahaman administratif yang adil, akurat, dan tidak merugikan kepentingan rakyat.

Aktivis Mahasiswa, Nur Asmi yang biasa disapa Nadi, saat diminta tanggapan menyebut, kebijakan sementara Kemendagri cukup bijak. Menurutnya, langkah ini menghindari benturan langsung antar daerah yang bisa menjurus ke konflik terbuka, terutama jika melibatkan sentimen historis dan identitas lokal.

“Administrasi wilayah bukan sekadar urusan batas peta. Ia menyangkut layanan publik, kewenangan, alokasi anggaran, dan perencanaan pembangunan. Jika tidak segera diputuskan, bisa menghambat akses masyarakat terhadap hak-hak dasar,” ujar Nur.

Kendati tidak berpenghuni, keenam belas pulau tersebut bukan tanpa nilai. Terletak di perairan selatan Jawa, kawasan tersebut diyakini memiliki potensi ekonomi kelautan, termasuk pariwisata bahari, perikanan tangkap, serta kemungkinan eksplorasi sumber daya bawah laut.

Inilah mengapa baik Trenggalek maupun Tulungagung cukup serius mengklaim. Ada harapan jangka panjang terhadap nilai ekonomi kawasan tersebut. Karena itu, penanganannya perlu hati-hati.

Tatkala Konferensi pers oleh Tomsi Tohir dinilai sebagai bentuk keterbukaan pemerintah pusat dalam menangani persoalan daerah. Penjelasan yang disampaikan bukan hanya menenangkan publik, tetapi sekaligus menjadi bukti bahwa negara hadir dengan data dan proses, bukan sekadar wacana.

Aktivis Nur mendukung keberanian Negara dalam memberikan pelayanan publik melalui Kemendagri.

BACA JUGA :  59 Pati Polri Berdinas di Kementerian Tanpa Mundur, Bertentangan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

“Jarang sekali pejabat pemerintah setingkat Sekjen mau turun langsung menjelaskan sengketa batas wilayah daerah. Ini langkah yang patut dicontoh, karena membuka ruang rasional bagi semua pihak.”

Dalam konteks pilkada serentak 2024 lalu, isu batas wilayah kerap dijadikan bahan kampanye. Hal ini sempat terjadi di Trenggalek maupun Tulungagung. Sentimen lokal disulut oleh narasi klaim wilayah tanpa dasar kajian resmi.

Oleh karena itu, langkah Kemendagri menetapkan wilayah netral melalui administrasi provinsi, disambut positif oleh aktivis pemantau kebijakan.

Aktivis Nur Asmi, menilai keputusan ini penting untuk menghindari manipulasi isu oleh kelompok politik tertentu.

“Sekarang pemerintah pusat sudah hadir dengan data. Jadi tidak bisa lagi politik lokal memelintir informasi untuk kepentingan elektoral,” ujarnya tegas.

Sebelumnya, Tomsi Tohir menegaskan bahwa, Fakta pulau-pulau ini tidak berpenghuni tidak serta merta menjadikannya tidak penting. Dalam banyak kasus, wilayah tak berpenghuni justru menjadi titik awal konflik perbatasan atau eksploitasi ilegal.

Karena itu, penetapan status administratif menjadi hal krusial untuk menghindari ambiguitas.

“Jangan sampai pulau tidak berpenghuni menjadi lahan eksploitasi oleh pihak tak bertanggung jawab, karena statusnya tidak jelas,” pungkas Tomsi.

Langkah Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir patut dicatat sebagai pendekatan administratif berbasis musyawarah, legalitas, dan akuntabilitas publik.

Menempatkan 16 pulau yang disengketakan ke dalam wilayah administratif provinsi sambil menunggu penetapan final, adalah bentuk kehati-hatian konstitusional yang strategis.

Pemerintah pusat harus mengatur, dan hadir memberi arah. Langkah ini diharapkan menjadi rujukan penyelesaian konflik batas wilayah lainnya di Indonesia.


Sumber utama: Puspen Kemendagri, Konferensi Pers Sekjen Kemendagri, Jakarta, 24 Juni 2025. |Editor: Supriadi Buraerah|Laporan :  Miftahul Jannah