SINJAI, INSERTRAKYAT.com,– Jika berbicara tentang dunia peradilan di Kabupaten Sinjai terdapat kantor yang saling berhubungan seperti Kantor Polres Sinjai, Kejaksaaan dan Pengadilan Negeri Sinjai. Tiga kantor pusat pelayanan publik itu masing -masing terlihat di Kecamatan Sinjai Utara, Kota Sinjai Sulawesi Selatan. Aktivitas di tiga kantor itu berjalan dengan baik dari masa ke masa, hingga kini era reformasi dan digitalisasi, 2025.
Ditarik jauh dari belakang dengan lain cerita, atau tidak ada kaitannya dengan dunia peradilan pemerintahan, dimana setiap hari Ahad pukul 12.00 WITA, masyarakat Nusantara menantikan satu tontonan khas, serial Wiro Sableng, di layar kaca RCTI – Oke. Bagi sebagian besar generasi 80–90-an, film ini menjadi rujukan hiburan dalam ruang sosial, perekat kebersamaan, sekaligus jendela imajinasi. Wiro mengenakan pakaian serba putih dengan angka 212 didada, sebagai simbol sekaligus ciri khas dalam cerita film, membuat masyarakat pada era itu terhibur.
Televisi pada masa itu belum menjangkau seluruh pelosok. Di kota metropolitan, tayangan bisa dinikmati hampir di tiap rumah. Namun di desa-desa terpencil, satu televisi bisa menjadi milik bersama satu dusun. Fenomena inilah yang terjadi di Desa Talle, Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Di Dusun Batu Lappa, hanya pasangan Puang Lammi dan H. Salmin yang memiliki televisi. Rumah mereka sederhana, tapi setiap Ahad siang berubah menjadi bioskop mini. Dari anak-anak hingga orang tua, warga berjalan kaki untuk menonton. Mereka rela duduk berdesakan demi menyaksikan layar kaca yang menjadi pusat perhatian.
Saat layar RCTI menampilkan seorang perempuan di tengah sawah mengacungkan jempol tanda acara dimulai, sorak tawa meledak. Anak-anak menirukan gaya itu sambil berteriak “Okeee!”
Tawa, teriakan, bahkan komentar spontan dari penonton melebur dengan jalannya cerita film.
Wiro Sableng adalah tokoh fiksi ciptaan Bastian Tito, penulis novel silat sejak 1967. Ia bersenjata Kapak Maut Naga Geni 212, pusaka sakti pemberian gurunya, Eyang Sinto Gendeng.
Dijuluki golongan putih, Wiro berbeda dari pendekar lain. Ia eksentrik, kocak, kadang bertingkah “gila”, namun berhati tulus membela kebenaran. Itulah yang membuatnya dekat dengan penonton. Ia bisa salah, bisa jatuh, bisa tertawa, namun selalu bangkit untuk menegakkan keadilan.
Ketika diadaptasi ke serial televisi, sosok Wiro dimainkan oleh Herning Sukendro alias Ken Ken. Dengan wajah jenaka dan jurus-jurus khasnya, Ken Ken berhasil menempel di ingatan dan lensa mata penonton.
Salah satu kisah paling berkesan adalah pertarungan melawan Dewi Siluman. Dalam cerita, muncul tokoh perempuan bernama Nani, budak Dewi Siluman. Nani kemudian berbalik berpihak kepada Wiro setelah menyadari bahwa cahaya lebih bermakna daripada kegelapan.

Namun pengkhianatan itu membuat Dewi Siluman murka, senjata andalannya adalah tongkat sakti. Pertarungan sengit terjadi di hutan. Pada akhirnya, Wiro menggunakan kapaknya sebagai seruling. Alunan nada sakti menghancurkan Dewi Siluman menjadi kepingan.
Adegan ini sering ditirukan anak-anak desa. Dengan ranting sebagai seruling dan tongkat sakti, mereka menirukan gaya bertarung Wiro dengan sang Dewi, sambil berteriak penuh semangat dan diakhiri tawa riang.
Televisi pada masa itu adalah barang mewah. Satu layar bisa mempertemukan satu desa. Dari situlah lahir silaturahmi yang kuat.
Ibu-ibu di desa mendidik anak tanpa membatasi keinginan mereka untuk menonton film Wiro. Satu hal yang berbaur pada masa itu, setiap anak lebih dahulu mengaji sebelum ikut menonton.
Tak heran jika saat itu anak-anak dan remaja rata-rata mahir membaca dan melantunkan ayat-ayat Allah bahkan MTQ selalu digelar di Desa Talle kategori ditingkat dusun. Acara ini masih lestari hingga saat ini.
Puang Lammi dan H. Salmin dikenal sebagai pasangan dermawan. Mereka termasuk keluarga yang memiliki TV di Desa Talle. Mereka tidak pernah menutup pintu, justru gembira menyambut siapa saja yang datang menonton. Suasananya: anak-anak duduk di lantai, orang tua di kursi panjang, sementara tuan rumah menyediakan air minum seadanya.
Setelah film selesai, obrolan panjang biasanya berlanjut. Televisi menjadi perekat sosial, bukan pemisah atau pemicu konflik.
Serial Wiro Sableng menampilkan banyak cerminan nilai, mulai dari keberanian menghadapi ketidakadilan, kesetiaan pada ajaran guru, persahabatan, kejujuran, hingga humor sebagai cara bertahan hidup.
Bagian tersebut sesuai dengan kearifan lokal desa yang menjunjung gotong royong, solidaritas, dan keberanian. Generasi muda belajar dari cerita fiksi untuk menghadapi kenyataan hidup.
Nama Ken Ken melambung di era 90-an. Perannya sebagai Wiro begitu ikonik. Namun setelah serial berhenti diproduksi, ia memilih mundur dari dunia hiburan.
Ken Ken kembali ke kampung halamannya. Ia kini menghabiskan hari-hari sebagai petani. Dari layar kaca penuh sorotan, ia beralih ke kebun yang memberi ketenangan.
Meski demikian, masyarakat masih mengenalnya sebagai Wiro. Bagi penggemar, melihat Ken Ken di ladang sama seperti melihat Pendekar 212 kembali menyatu dengan alam.
Kini, televisi bukan barang langka. Gawai pribadi bahkan menghadirkan film apa saja dalam genggaman. Namun kenangan menonton bersama di rumah Puang Lammi tetap tak tergantikan.
Generasi muda mungkin mengenal Wiro lewat film 2018. Tetapi generasi 80–90-an mengingatnya sebagai pelengkap hari libur, dengan tawa, sorak, dan kebersamaan.
Bagian ini menunjukkan bagaimana hiburan sederhana bisa memperkuat solidaritas sosial.
Suksesnya film Wiro juga mempunyai cerita tentang sosok di balik layar, Bastian Tito, lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1945. Ia menulis ratusan judul novel silat, namun Wiro Sableng menjadi karya terbesarnya. Novel perdana terbit pada 1967, dan serialnya berlanjut hingga lebih dari 185 judul.
Bastian Tito wafat pada 2006, tetapi karyanya abadi. Seorang putra, Vino G. Bastian, kemudian melanjutkan warisan itu dengan memerankan Wiro di film layar lebar tahun 2018.
Legenda Wiro Sableng, baik di era 80-an maupun 2018, bagi masyarakat desa seperti Talle, hidup dalam cerita, tawa, dan solidaritas.
Penulis: Supriadi Buraerah.
Editor : Bahtiar.