Merangin, Jambi, InsertRakyat.com- Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya menjadi jalan terang legalitas tanah rakyat, justru diwarnai kegelisahan di Desa Mekar Limau Manis, Kecamatan Tabir Ilir. Ahad, (13/7/2025) Sejumlah warga mengeluhkan pungutan melebihi ketentuan, sementara sertifikat yang dijanjikan tak kunjung rampung hingga tahun 2025.
Sesuai aturan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, biaya yang dibenarkan bagi penerima manfaat program PTSL adalah Rp 200.000 per bidang tanah. Namun warga dengan identitas penduduk Desa Mekar Limau Manis mengaku diminta Rp 500.000. Lebih parah, warga luar desa yang memiliki lahan di wilayah tersebut menguat dugaan dikenai biaya hingga Rp 1.500.000, dengan sistem dua kali pembayaran.
“Kami yang bukan penduduk asli dikenai Rp 1,5 juta. Diminta bayar Rp 1 juta dulu, sisanya nanti saat sertifikat jadi. Tapi sampai sekarang belum ada yang jadi,” ujar Sul (inisial), salah satu warga yang mengaku sebagai korban, kepada awak media, Jumat (17/5/2025).
Puluhan sertifikat belum rampung, meski program tersebut disebut sudah berjalan sejak tahun 2023–2024. Masyarakat mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas panitia pelaksana di tingkat desa. Mereka menduga ada praktik pungutan liar (pungli) atau bahkan penipuan terselubung.
Awak media telah mencoba mengonfirmasi informasi ini kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Merangin. Melalui pesan WhatsApp, Puji, selaku Kasi Pengukuran, menyampaikan bahwa program PTSL untuk Desa Mekar Limau Manis telah selesai seluruhnya sebanyak 683 bidang.
“Program sudah clear dan sudah diserahkan ke pihak desa,” tulis Puji, saat dikonfirmasi media pada 20 Mei 2025.
Sebelumnya, Syafri, sekretaris panitia desa, menyebut jumlah sertifikat yang diajukan mencapai 700 bidang. Jika semua sudah rampung dan diserahkan, pertanyaannya: mengapa masih ada warga yang merasa belum menerima dokumen miliknya?
Mantan Kepala Desa, Muhammad Bisro Dirhamsyah, juga sempat memberikan klarifikasi. Menurutnya, pungutan dilakukan mengacu pada SKB Tiga Menteri.
“Kalau ada yang dipungut melebihi ketentuan, itu sudah kesepakatan dengan penerima manfaat,” ujarnya melalui pesan singkat kepada media.
Pernyataan ini memantik pertanyaan: apakah benar masyarakat memahami dan menyetujui pungutan melebihi aturan nasional? Atau hanya sekadar ‘disodori’ pungutan tanpa sosialisasi yang memadai?.

Opini publik pun terbelah. Di satu sisi, desa mengklaim sesuai prosedur. Di sisi lain, warga menyuarakan ketimpangan antara janji dan realisasi. Lebih dari sekadar uang, ini adalah soal kepercayaan publik terhadap program pemerintah yang menggunakan nama besar negara.
Ketika program PTSL diserahkan ke desa, semestinya disertai dengan tata kelola yang baik: transparan, akuntabel, dan partisipatif. Fakta bahwa ada pungutan melebihi ketentuan, apalagi tanpa bukti kuitansi resmi, sudah cukup menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki lebih jauh.
“Kami minta aparat dan instansi terkait turun langsung. Jangan sampai rakyat dirugikan dalam program negara,” tegas Sul kepada media.
Jika benar semua sertifikat sudah diserahkan BPN ke desa, lalu mengapa masih banyak warga yang belum menerima? Jika biaya sudah dibayar, ke mana uang itu mengalir? Dan jika warga tidak tahu-menahu soal rincian anggaran, lalu siapa yang bertanggung jawab menjelaskan?
Program PTSL adalah mandat Presiden. Tujuannya mulia: memberikan kepastian hukum atas tanah rakyat. Maka tak boleh ada celah sedikit pun untuk diselewengkan. Bila tidak diawasi dengan ketat, program sebesar apa pun akan berisiko menjadi celah praktik pungli yang sistematis.
Masyarakat Mekar Limau Manis kini menunggu satu hal saja: kepastian. Mereka sudah membayar, mereka sudah menunggu. Sekarang saatnya pemerintah daerah, BPN, dan aparat hukum merespons keluhan mereka secara terbuka dan adil. ***