Jakarta, Insertrakyat.com —
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., menegaskan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah keharusan mendesak demi menopang sistem peradilan pidana yang modern, efisien, dan adil.

Pernyataan ini disampaikan dalam webinar nasional bertajuk “Sosialisasi RUU KUHAP: Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil dan Terpadu”, yang digelar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Rabu, 28 Mei 2025, seperti bunyi rilis yang diterima Insertrakyat.com, Sabtu, (31/5) malam dari Mahkamah Agung RI.

Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber penting, termasuk Wakil Menkumham Prof. Edward O. S. Hiariej, JAM Pidum Prof. Dr. Asep N. Mulyana, Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Pol. Dr. Viktor T. Sihombing, Guru Besar UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo, dan advokat Dr. Luhut M. P. Pangaribuan.

BACA JUGA :  Kapolres Aceh Jaya Dengarkan Aspirasi dan Keluhan Masyarakat Terkait Kamtibmas di Kec. Krueng Sabee Dalam Kegiatan “Jumat Curhat”

Dalam pemaparannya, Prim Haryadi menyampaikan bahwa Mahkamah Agung sudah dilibatkan pemerintah sejak Mei 2025, saat menerima daftar isian masalah RUU KUHAP. MA kemudian menggelar serangkaian diskusi dan pertemuan, mulai dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, hingga rapat dengan para hakim agung di kamar pidana.

“Ini adalah kebutuhan mendesak aparat penegak hukum. Hukum acara pidana yang baru adalah keniscayaan,” ujar Prim, yang dilantik sebagai Ketua Kamar Pidana pada Agustus 2024.

Ia juga menekankan bahwa dengan berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026, pembaruan KUHAP menjadi sangat mendesak agar tidak terjadi kesenjangan antara hukum materiil dan hukum acara.

Mengapa KUHAP Perlu Direvisi?

Prim Haryadi menguraikan sejumlah alasan mendasar:

  1. Banyak UU Khusus yang Perlu Disinkronkan, seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika, hingga UU ITE dan Perlindungan Korban.
  2. Kekosongan hukum acara yang selama ini diisi oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran MA (SEMA).
  3. Substansi KUHP 2023 yang berbeda dengan sistem KUHAP lama, seperti:
    • Penghapusan kategori pelanggaran dan pidana ringan.
    • Adanya pidana pengawasan dan kerja sosial.
    • Pemidanaan terhadap korporasi.
    • Konsep judicial pardon (permaafan hakim).
    • Penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
    • Penguatan hak korban termasuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.
    • Penyederhanaan dan percepatan persidangan.
    • Subjek hukum baru: anak, kelompok rentan, dan korporasi.
BACA JUGA :  Patroli Malam Sat Samapta Polres Aceh Selatan Tingkatkan Keamanan dan Cegah Premanisme

Sejumlah aspek teknis menurut MA juga perlu dikaji lebih lanjut, antara lain:

  • Definisi tertangkap tangan dan batasan Hakim Aktif.
  • Prosedur praperadilan, termasuk jumlah dan konsekuensi pemanggilan.
  • Penghapusan alat bukti petunjuk, yang sebaiknya tetap dijelaskan dalam pasal.
  • Peninjauan kembali karena kekhilafan hakim, yang sebaiknya dipertahankan.
  • Keberatan pihak ketiga atas sita barang bukti, yang saat ini hanya berlaku di kasus korupsi dan narkotika.
  • Penangguhan penahanan dan penyitaan aset milik pelaku yang tidak diketahui, seperti kasus judi online.
  • Hubungan penyitaan dalam ranah pidana dan perdata, serta izin ketua pengadilan untuk penahanan dan penangkapan.
  • Batasan upaya hukum kasasi.
BACA JUGA :  Pemerintah Bahas Skema Pengadaan Guru Sekolah Rakyat

Mengakhiri pemaparannya, Prim Haryadi mengutip Prof. Satjipto Rahardjo:

“Hukum yang tidak mampu melayani keadilan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya.”

Ia menegaskan, pengesahan RUU KUHAP bukan semata persoalan legislasi, melainkan wujud keberpihakan kepada masa depan hukum yang berkeadilan dan bermartabat.

“Sudah saatnya hukum acara kita tak sekadar mengawal prosedur, tapi turut menghadirkan keadilan yang hidup bagi semua pihak,” tutup Prim penuh harap.


Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Supriadi Buraerah – (Insertrakyat.com).