JAKARTA, INSERTRAKYAT.com — Radikalisme bukan hal sepele, melainkan dapat menjadi ancaman besar bagi stabilitas Nasional.
Sejumlah kasus yang telah diungkap oleh aparat keamanan [Anti Terorisme], paham ini bekerja senyap, menyusup melalui ruang sosial, digital, bahkan keluarga.
Radikalisme lahir dari doktrin sempit. Ia menolak kebhinekaan dan menafsirkan kebenaran tunggal.
Awalnya hanya perbedaan pandangan. Lama-lama berubah menjadi sikap intoleran dan keras.
Inilah yang berbahaya. Dari ujaran kebencian, bisa meluas ke aksi teror.
Indonesia memiliki sejarah panjang menghadapi kelompok radikal. Banyak tragedi jadi bukti.
Bom Bali, aksi jaringan teror, hingga serangan lone wolf adalah contoh.
Semua itu berawal dari benih radikalisme yang dibiarkan tumbuh.
Mengapa Radikalisme Berbahaya?
Bahaya pertama ialah merusak persatuan bangsa. Radikalisme mengikis rasa kebersamaan.
Ia memecah masyarakat berdasarkan identitas agama, suku, atau ideologi sempit.
Bahaya kedua tak kalah merusak toleransi. Masyarakat jadi mudah curiga dan saling bermusuhan.
Bahaya ketiga paling bengis karena dapat membuka jalan bagi terorisme. Radikalisme adalah pintu masuk utama.
Karena itu, paham ini tak boleh dibiarkan tumbuh sedikit pun.
Penyebaran yang senyap, biasanya Radikalisme tidak hadir terang-terangan. Ia menyusup dengan cara lembut seperti benalu yang tumbuh dan bertengger pada pohon subur.
Kelompok radikal memanfaatkan media sosial, ruang kajian, hingga komunitas belajar.
Awalnya mereka bicara soal moralitas atau kesalehan. Lama-lama mengajak menolak negara.
Mereka memakai dalih agama. Padahal isinya adalah ideologi ekstrem yang menyesatkan.
Masyarakat sering terlambat menyadari. Saat sudah kuat, mereka sulit dibendung.
Karena itu pengawasan masyarakat sangat menentukan. Kita tidak boleh acuh.
Keluarga adalah garda terdepan mencegah radikalisme.
Orang tua harus mendampingi anak. Jangan biarkan mereka sendirian di dunia maya.
Internet adalah ladang subur radikalisme. Banyak propaganda disebar melalui konten digital.
Video, meme bisa menjadi pintu masuk radikal.
Jika anak tidak diberi pemahaman, mereka mudah terjerat bujuk rayu.
Pendidikan di rumah harus menekankan cinta tanah air dan toleransi.
Keluarga yang harmonis menjadi filter pertama melawan pengaruh radikal.
Institusi pendidikan punya peran penting. Sekolah bukan hanya mengajar ilmu, namun di sana juga menanamkan nilai kebangsaan, toleransi, dan kebhinekaan.
Sayangnya, kampus juga sering jadi target infiltrasi kelompok radikal.
Mereka menyusup lewat kelompok belajar, organisasi, atau forum mahasiswa.
Karena itu, dosen dan guru harus jeli.
Penguatan pendidikan Pancasila, sejarah kebangsaan, serta wawasan nusantara wajib ditingkatkan.
Generasi muda harus diajarkan berpikir kritis, agar tak mudah dipengaruhi.
Sementara itu, Tokoh agama memiliki pengaruh besar. Mereka dipercaya umat sebagai rujukan utama.
Namun di sinilah terkadang celah dimanfaatkan kelompok radikal.
Mereka memelintir ayat, mengutip teks, namun mengabaikan konteks.
Tugas tokoh agama adalah meluruskan penyimpangan ini.
Dengan dakwah moderat, mereka bisa menyejukkan umat, bukan memecah belah.
Tokoh masyarakat juga berperan. Suara mereka didengar dan dihormati.
Jika mereka aktif menolak radikalisme, masyarakat akan lebih waspada.
Media massa tidak boleh abai. Radikalisme sering tumbuh dari hoaks.
Informasi palsu tentang agama, negara, atau pemimpin jadi bahan bakar.
Media harus menghadirkan berita jernih, mendidik, dan tidak provokatif.
Di era digital, literasi informasi menjadi benteng penting.
Masyarakat harus dilatih menyaring informasi, bukan asal percaya.
Kritis terhadap sumber berita akan membuat propaganda radikal kehilangan pengaruh.
Pemerintah dan aparat wajib menindak tegas penyebar paham radikal.
UU Antiterorisme sudah memberi ruang penindakan lebih awal.
Namun, tindakan represif saja tidak cukup.
Radikalisme terkadang terbungkus dalam [bersifat] ideologis. Namun bisa ditangkal dengan pendekatan menyeluruh.
Deradikalisasi, pembinaan, hingga pemberdayaan ekonomi juga penting dilakukan.
Aparat harus merangkul masyarakat agar ikut serta dalam pengawasan.
Radikalisme tidak akan tumbuh jika masyarakat awas dan ikut mengawasi.
Tetangga harus saling peduli, jangan membiarkan gejala intoleransi tumbuh.
Jika ada yang mencurigakan, jangan takut melapor.
Gotong royong menjaga lingkungan adalah cara efektif melawan radikalisme.
Perlawanan sosial jauh lebih kuat dibanding hanya mengandalkan aparat.
Kesadaran kolektif masyarakat akan membuat radikalisme kehilangan ruang gerak.
Bahaya terbesar adalah sikap diam. Banyak orang enggan peduli.
Mereka berpikir radikalisme hanya urusan aparat. Itu keliru besar.
Jika masyarakat acuh, kelompok radikal akan leluasa berkembang.
Mereka hanya butuh sedikit ruang untuk tumbuh.
Begitu kuat, mereka akan menjadi ancaman besar.
Karena itu, pengawasan harus dimulai dari diri sendiri.
Radikalisme tidak bisa ditangani sepihak. Semua pihak harus terlibat.
Pemerintah, aparat, keluarga, sekolah, media, tokoh agama, dan masyarakat.
Jika satu pihak abai, radikalisme akan mencari celah.
Kesadaran kolektif adalah benteng utama. Saat semua elemen bersatu, radikalisme tidak akan bertahan.
Sejak Merdeka 1945, Indonesia berdiri di atas fondasi persatuan.
Radikalisme berusaha merobohkan fondasi itu.
Bahaya ini tidak boleh dianggap remeh.
Radikalisme harus diawasi bersama, dari ruang kecil hingga ruang besar.
Setiap individu punya peran. Setiap komunitas punya tanggung jawab.
Mari jaga bangsa ini dengan kesadaran bersama.
Saat rakyat bersatu, radikalisme akan kalah.
Bangsa tetap kokoh, Indonesia tetap selamat.
Lengkapnya, dalam sudut pandang opini penulis [jurnalis Insertrakyat.com] menilai Indonesia saatnya lebih tajam meningkatkan Waspada.