POLEMIK pelarangan konser di Aceh kembali menjadi perbincangan hangat. Sejumlah konser dibatalkan mendadak, izin dicabut secara sepihak, dan penolakan keras muncul dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari ulama, ormas, hingga komunitas lokal. Fenomena ini melahirkan dua kutub besar: kelompok yang menolak konser atas dasar perlindungan syariat, dan kelompok yang menilai pelarangan itu kerap tumpang tindih serta tidak konsisten.

Kelompok yang kontra konser berpegang pada pemahaman bahwa aktivitas tersebut berpotensi menodai citra Aceh sebagai daerah bersyariat. Sementara kelompok pro melihat inkonsistensi dalam penerapan aturan, sebab tidak semua konser atau kegiatan hiburan mendapat perlakuan serupa.

Konser kerap disamakan dengan hiburan, sesuatu yang pada dasarnya dibolehkan dalam Islam. Hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari membuktikan bahwa Rasulullah SAW pernah menyaksikan pertunjukan di masjid tanpa melakukan pengingkaran. Namun, perdebatan muncul ketika menyentuh persoalan musik. Mayoritas ulama memandang musik berpotensi melalaikan, sementara ulama lain seperti Al-Ghazali dan Ibnu Hazm memandangnya sebagai medium moral dan spiritual apabila membawa kebaikan.

BACA JUGA :  Jubir KPA Ultimatum PLN Aceh: Ungkap Penyebab Pemadaman Listrik 74 Jam!

Pada level praktik, persoalan bercampurnya laki-laki dan perempuan menjadi perhatian utama. Interaksi tanpa pembatas dalam kerumunan konser berpotensi melanggar norma syariat. Kaidah fiqh menyatakan “mencegah kemudaratan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan,” sehingga pelarangan sering dianggap langkah preventif.

Dalam konteks Aceh, polemik konser seharusnya tidak hanya dilihat sebagai persoalan hukum, tetapi juga realitas sosial dan nilai. Melalui perspektif filsafat ilmu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, polemik ini bisa dicermati lebih komprehensif.

Secara ontologis, konser bukan sekadar panggung dan musik. Ia merupakan fenomena budaya yang muncul dari interaksi manusia, pengalaman kolektif, dan ekspresi estetika. Konser adalah realitas ganda: fisik dan emosional. Ia hidup sesaat, lalu bertransformasi menjadi memori dan makna.

BACA JUGA :  Wagub Fadhlullah Hadiri Penutupan Jeumala Cup XIV di Banda Aceh

Epistemologinya terletak pada bagaimana penonton memaknai musik, suasana, visual, dan pesan. Konser menghasilkan pengetahuan estetik yang bersifat empiris sekaligus rasional. Namun, di ranah sosial, makna yang lahir kerap multitafsir dan berpotensi menimbulkan konflik persepsi.

Konser memuat nilai-nilai sosial seperti solidaritas dan kebersamaan. Ada nilai edukatif, estetis, dan kultural yang ikut terbentuk. Namun, konteks modern terkadang mereduksi konser menjadi sekadar fenomena “fear of missing out”. Hal ini membuat sebagian masyarakat melihatnya tidak lebih dari hiburan yang tidak bermanfaat, lalu memantik generalisasi negatif.

Aceh memiliki kewenangan khusus dalam penerapan syariat. Masyarakatnya terbiasa mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudaratan berdasarkan prinsip keislaman yang melekat pada identitas kolektif. Oleh karena itu, respons keras terhadap konser bukan semata-mata alergi terhadap budaya populer modern, tetapi bagian dari komitmen menjaga marwah qanun.

BACA JUGA :  Bimtek Dana Desa Aceh Timur Digelar di Luar Daerah, Picu Polemik

Namun, kehadiran inkonsistensi dalam penerapan aturan justru memperlebar jurang ketidakpercayaan publik. Band lokal dan nasional kadang menerima perlakuan berbeda. Ada konser dibatalkan, tetapi kegiatan serupa tetap berlangsung di tempat lain.

Sudut pandang ini menekankan perlunya kejelasan regulasi dan keadilan dalam penerapannya. Jika konser dinilai membawa mudarat dan bertentangan dengan syariat, maka pelarangannya mesti dilakukan secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Sebaliknya, jika tetap diperbolehkan, maka perlu mekanisme pengawasan ketat, pembatasan yang jelas, dan harmonisasi dengan prinsip syariat yang menjadi identitas Aceh.

Hanya dengan konsistensi, diskursus tentang konser tidak lagi menjadi bahan polemik berkepanjangan [satu dekade]. Aceh membutuhkan suasana sosial yang adil, harmonis, dan sejalan dengan semangat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.