PELALAWAN, INSERTRAKYAT.COM — Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pemuda Tri Karya (PETIR) menyoroti lambannya penindakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kawasan Hutan (PKH) terhadap perkebunan kelapa sawit yang diduga berada di dalam kawasan hutan di Provinsi Riau.
Jackson Sihombing, Ketua Umum DPN PETIR saat berbicara dengan Tim INSERTRAKYAT.COM, mengutarakan kekecewaannya terhadap sikap Satgas PKH, khususnya dalam menangani kasus kebun sawit milik Oberlin Marbun yang terletak di Desa Segati, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau.
“Sampai sekarang Satgas PKH mengabaikan kebun sawit milik Oberlin Marbun yang jelas-jelas berada di kawasan hutan. Ada apa dengan Satgas. Kenapa tidak ada tindakan,” ungkap Jackson, Senin, (5/5/2025) di Riau.
Jackson menjelaskan, lahan sawit yang dimaksud memiliki luas sekitar 574,78 hektare, berdasarkan data yang tercantum dalam surat permohonan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perkebunan tersebut berada di wilayah administrasi Desa Segati dan termasuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Tesso Nilo.
“Dalam data dari dokumen khusus yang kami miliki, jelas disebutkan bahwa kebun tersebut berada di dalam kawasan hutan negara. Bahkan titik koordinatnya sangat rinci. Bagaimana bisa sampai saat ini belum juga ada tindakan penyitaan,” tegasnya.
Berdasarkan peta daring, berikut adalah titik koordinat areal kebun sawit tersebut, 101°40’32,417″E 0°3’4,089″S, 101°40’44,461″E 0°2’24,984″S, 101°40’37,151″E 0°1’56,668″S, 101°39’13,117″E 0°1’55,048″S, 101°38’20,078″E 0°2’20,618″S, 101°38’19,167″E 0°2’40,325″S, 101°38’27,448″E 0°3’5,55″S, 101°39’1,465″E 0°3’5,194″S, 101°39’1,041″E 0°2’32,2″S, dan 101°39’56,498″E 0°2’30,05″S.
Jackson juga menduga adanya pelanggaran hukum dalam penerbitan surat keterangan tanah (SKGR) oleh oknum kepala desa dan camat setempat, karena menerbitkan surat atas tanah negara di dalam kawasan hutan.
“Kalau Satgas PKH tidak punya data, kami siap bantu. Dokumen lengkap, termasuk tanda tangan para pemilik lahan,”imbuhnya.
“Satgas PHK jangan tebang pilih dalam penindakan hukum,”kuncinya.

Sebelumnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyita 574 hektare sawit yang berdiri di hutan negara.
Penyitaan ini berlangsung di Serumpun Jaya, Pasir Penyu, Indragiri Hulu, Provinsi Riau, pada pertengahan pekan pertama, Mei 2025.
Plang resmi dipasang besar-besar di tengah ladang sawit: peringatan keras buat dunia usaha yang nakal.
Tulisannya mencolok: “Perkebunan sawit 574 hektare ini dalam pengawasan Satgas Pemerintah Republik Indonesia.”
PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP) tak berkutik. Semua alat berat, panen, dan lahan dihentikan seketika.
TPP adalah anak perusahaan dari raksasa industri agribisnis PT Astra Agro Lestari Tbk, dikenal luas.
Selama puluhan tahun, ladang sawit ini beroperasi tanpa izin kehutanan yang sah secara hukum.
Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru ekosistem hijau, malah berubah jadi mesin penghasil minyak nabati global.
Ncik, Masyarakat sekitar menyebut ladang itu seperti kota kecil berisi sawit, bukan tempat konservasi.
Sementara itu, Juru bicara Astra, Dede, mengatakan perusahaan siap kooperatif dan patuh pada proses hukum.
“Perusahan, ikuti prosedur sejak awal,” ujarnya, kepada wartawan, Sabtu, (3/5/2025). Walaupun prosedur itu tidak menjangkau aturan kehutanan dan CSR sehingga penyitaan dilakukan.
Kabarnya, di sana, operasional tetap dijalankan terbatas. Padahal, plang pemerintah telah berdiri tegak seperti saksi bisu. Harusnya ada drone yang intens memantau. Satgas pun akan turun mengecek. “Segera dicek,” singkat.
Kendati pun, publik mempertanyakan, bagaimana bisa (sebelumnya), hutan negara berubah jadi sawit tanpa peringatan regulasi.
Ibarat maling lewat depan pos ronda, tapi hansip malah sibuk main catur dan minum kopi.
Satgas PKH dianggap sebagai harapan baru dalam penertiban kawasan hutan dari kerakusan industri.
Namun publik masih ragu; ini langkah permanen atau hanya pencitraan menjelang laporan iklim dunia?.
Menengok history, kasus sebelumnya menimpa PT Sari Lembah Subur di Pelalawan, pola serupa, skenario tak jauh beda.
Hutan terus menyusut, sedangkan lembaran perizinan masa lalu menyisakan lubang hukum sangat lebar.
Penegakan hukum perlu dilanjutkan. Jangan sampai hanya menyentuh kulit tanpa menyentuh jantung permasalahan.
“Audit menyeluruh terhadap izin sawit harus dimulai. Tak bisa lagi dibiarkan berlalu begitu saja,” imbuh Masyarakat yang bersedia dikutip Identitasnya.
Lanjutnya, jangan sampai setelah ditertibkan, kawasan ini hanya diganti nama dan dijual ulang secara halus.
Publik muak melihat kasus kehutanan berakhir di rapat-rapat meja tanpa pelaku dikenai sanksi.
Penebangan hutan bukan lagi isu lingkungan saja, namun merusak sistem kehidupan dalam jangka panjang.
“Kita butuh negara yang hadir lebih awal, bukan datang saat hutan sudah gundul tanpa daun,” tuntasnya.