Jakarta – Insiden teror berupa pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke Redaksi Tempo memicu kecaman luas. Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menilai tindakan tersebut sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Teror semacam ini jelas mengancam kemerdekaan pers. Padahal, dalam menjalankan tugasnya, pers berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Pers,” ujar Syamsu Rizal, di Jakarta Senin (24/3/2026).
Menurutnya, jurnalis memiliki kebebasan untuk menggali dan menyebarluaskan informasi berdasarkan kaidah jurnalistik. Jika terjadi teror seperti ini, patut diduga ada pihak-pihak yang ingin membungkam kebebasan pers.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini yang harus kita lawan. Kita butuh suara kritis sebagai penyeimbang kebijakan pemerintah agar demokrasi tetap berjalan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia merujuk pada Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan bahwa wartawan berhak atas perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya.
“Selama pemberitaan yang disampaikan tidak mengandung kebohongan atau fitnah, negara wajib melindungi insan pers, termasuk dari aksi teror dalam bentuk apa pun,” tambahnya.
Sebelumnya, Redaksi Tempo menerima dua kali teror dalam kurun waktu berdekatan. Pada Rabu (19/3/2025), sebuah kardus berisi kepala babi dikirimkan ke kantor redaksi. Selang dua hari, Sabtu (22/3/2025), redaksi kembali menerima kiriman kardus berisi enam bangkai tikus yang dibungkus kertas kado bermotif bunga.
Hingga kini, Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri masih memburu pelaku dengan menelusuri rekaman CCTV dan lokasi pengiriman paket teror tersebut. Beberapa saksi juga telah dimintai keterangan.
Syamsu Rizal menegaskan bahwa teror semacam ini tidak hanya menjadi ancaman bagi pers, tetapi juga bagi masyarakat yang berhak mendapatkan informasi berkualitas dan independen.
“Kami mendesak kepolisian untuk segera mengungkap dalang di balik aksi teror ini. Menghalangi kerja jurnalistik adalah pelanggaran serius dengan ancaman pidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta,” ungkapnya.
Ia juga meminta Dewan Pers turun tangan dengan membentuk Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kasus ini ditangani secara transparan.
“Jika negara gagal melindungi pers, maka ini akan menjadi preseden buruk. Jangan sampai jurnalis harus bekerja di bawah ancaman tanpa jaminan keamanan,” pungkasnya.
Penulis : Miftahul Jannah
Editor : Redaksi