Di balik gemerlap emas dan tembaga Papua, tersimpan cerita kekuasaan Amerika Serikat yang panjang dan rapi. Penemuan tambang raksasa di Pegunungan Jayawijaya oleh geolog Belanda Jean-Jacques Dozy pada 1936 menjadi awal dari perebutan sumber daya yang tak pernah berhenti. Saat Indonesia merdeka, kekayaan ini tetap menjadi incaran kekuatan asing, yang melihat peluang besar di tengah keterbatasan teknologi dan akses eksploitasi nasional.
Tiga dekade kemudian, dua geolog Amerika dari Freeport Sulphur Company, Forbes Wilson dan Del Flint, menelusuri jejak Dozy. Penemuan mereka membangkitkan minat AS untuk menguasai tambang Papua. Saat itu Perang Dingin membelah dunia, dan Amerika melihat Indonesia strategis untuk mencegah pengaruh Uni Soviet. Strategi ini kemudian dibungkus diplomasi melalui New York Agreement 1962, yang mengalihkan Irian Barat ke Indonesia. Di balik perjanjian resmi, kepentingan ekonomi Amerika tetap dijaga agar korporasinya bisa menguasai tambang melalui rezim baru yang pro-investasi asing.
Tahun 1967 menjadi tonggak kehadiran resmi Freeport di Indonesia dengan Kontrak Karya I. Produksi komersial dimulai 1972, menjadikan Papua pusat tambang raksasa dunia yang dikendalikan korporasi asing. Penemuan Gunung Grasberg di akhir 1980-an menegaskan posisi Papua sebagai tambang emas terbesar dunia dan tambang tembaga kedua terbesar. Dari sini miliaran dolar mengalir ke luar negeri, sementara masyarakat adat masih bergulat dengan kemiskinan. Kota Tembagapura dibangun megah, tapi lingkungan rusak, tanah leluhur hilang, dan kehidupan masyarakat terganggu.
Freeport bukan hanya soal modal dan teknologi, tetapi juga kekuasaan militer. Tambang dijaga aparat bersenjata, dan laporan HAM mencatat pelanggaran serius di sekitarnya. Freeport menjadi simbol ekonomi dan kekuasaan yang menekan ruang hidup masyarakat adat. Penelitian Cambridge University dan Corporate Accountability Lab menyebut hubungan Freeport dengan Orde Baru sebagai kolonialisme korporasi modern. Kontrak memberi Freeport keistimewaan penuh, sementara negara hanya menerima sebagian kecil keuntungan.
Di tengah devisa besar, manfaat langsung bagi Papua minim. Limbah tambang mencemari sungai, ratusan hektare hutan berubah jadi lubang raksasa, dan masyarakat adat hampir tak pernah dilibatkan dalam perundingan penting.
Pemerintah mulai mengambil langkah pada 2018, melalui Inalum mengambil alih 51,2 persen saham Freeport Indonesia, mengakhiri dominasi penuh Freeport-McMoRan. Kontrak karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2041. Namun kendali teknologi dan produksi masih bergantung pada pihak Amerika. Freeport tetap memegang peran teknis utama, sementara pembangunan smelter di Gresik diwajibkan agar hasil tambang diolah di dalam negeri, memberi nilai tambah ekonomi lebih besar.
Sejarah panjang Freeport meninggalkan luka. Masyarakat adat Amungme dan Kamoro kehilangan tanah, budaya, dan hak ekonomi. Meski Indonesia memegang saham mayoritas, dominasi asing tetap terasa. Freeport bukan sekadar bisnis; ini strategi global menguasai sumber daya di bawah selimut diplomasi.
Peresmian smelter tembaga baru Freeport di Gresik pada 19 Juli 2025 menegaskan hilirisasi mineral. Smelter memiliki kapasitas 1,7 juta ton konsentrat per tahun, diharapkan meningkatkan nilai tambah ekonomi, tapi pertanyaan tetap: apakah manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat Papua, atau hanya memperkuat dominasi asing?
Sementara itu, Data terbaru BPS menunjukkan persentase penduduk miskin Indonesia pada Maret 2025 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang. Jumlah ini turun 0,21 juta orang dari September 2024 dan turun 1,37 juta orang dari Maret 2024. Persentase kemiskinan perkotaan 6,73 persen, naik dari 6,66 persen; perdesaan 11,03 persen, turun dari 11,34 persen. Kondisi ini menegaskan ketimpangan ekstrem di Papua, di mana kemiskinan masih serius.
Kesenjangan antara kekayaan tambang dan kemiskinan masyarakat lokal menegaskan satu hal: selimut diplomasi dan kekuasaan global menutupi kenyataan pahit rakyat pemilik gunung emas. Tantangan Indonesia bukan sekadar menguasai saham, tetapi memastikan sumber daya Papua dikelola adil, berkelanjutan, dan benar-benar mensejahterakan masyarakat lokal.
Penulis: Dani, 28 Oktober 2025. Selamat Hari Sumpah Pemuda.



































