INSERTRAKYAT.COM, ACEH –– Dua puluh tahun telah berlalu sejak rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia menandatangani MoU Helsinki. Perjanjian ini mengakhiri konflik bersenjata berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan negara.

Penandatanganan MoU itu membuka jalan baru bagi Serambi Mekah sebutan Istimewa Aceh. Suara senjata berganti dengan semangat pembangunan. Masyarakat Aceh mulai menata kembali hidup mereka setelah puluhan tahun diliputi ketakutan dan penderitaan.

Aceh tidak lagi menjadi tanah luka. Hari ini, Aceh menjadi tanah harapan. Kehidupan sosial membaik, ekonomi mulai tumbuh, dan masyarakat mulai percaya pada masa depan.

Perjalanan damai ini tidak lepas dari peran tokoh-tokoh penting. Dua di antaranya adalah Muzakir Manaf dan Fadhullah. Keduanya membentuk arah baru Aceh pascakonflik.

Muzakir Manaf dikenal sebagai Mualem. Ia lahir pada 3 April 1964. Ia adalah politikus Indonesia, mantan pemimpin gerilya GAM, dan kini menjabat sebagai Gubernur Aceh periode 2025–2030.

Mualem juga menjabat sebagai Waliyul ‘Ahdi Lembaga Wali Nanggroe Aceh sejak 27 Desember 2022. Sebelumnya, ia pernah menjadi Wakil Gubernur Aceh pada periode 2012–2017.

Setelah gugurnya Abdullah Syafi’i, Mualem diangkat menjadi panglima tertinggi militer GAM pada 2002. Ia kemudian mendirikan Partai Aceh pada 2007 dan menjadi ketua umum pertama partai tersebut.

Mualem panutan masyarakat dalam transisi Aceh dari konflik bersenjata ke sistem politik demokratis. Ia membawa semangat perjuangan ke dalam jalur damai dan konstitusional.

BACA JUGA :  FORBINA Ajak Presiden Serius Kembangkan Sabang sebagai Pusat Ekonomi Global

Bersama Mualem, hadir Fadhullah atau Dek Fad, politisi muda yang tumbuh di era damai. Ia menjadi jembatan antara generasi perjuangan dan generasi pembangunan.

Dek Fad aktif di panggung politik nasional dan regional. Ia membawa isu-isu seperti pendidikan, digitalisasi, dan ekonomi kreatif ke dalam strategi pembangunan Aceh ke depan.

Kolaborasi Mualem dan Dek Fad menyatukan kekuatan sejarah dan visi masa depan. Keduanya memberi harapan baru bagi rakyat Aceh, terutama generasi muda yang tidak mengalami konflik secara langsung.

Dalam perjalanan damai ini, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) memainkan peran penting. BRA menjadi instrumen utama dalam pemulihan sosial dan ekonomi masyarakat pascakonflik.

BRA hadir untuk membantu mantan kombatan, tapol/napol, dan korban konflik. Di bawah kepemimpinan Jamaluddin, S.H., M.Kn., BRA bergerak lebih aktif, lebih konkret, dan lebih menyentuh langsung kebutuhan rakyat.

BRA membangun rumah layak huni, menyediakan pelatihan keterampilan, memberi bantuan usaha kecil, dan mendorong reintegrasi sosial di desa-desa bekas zona konflik.

BRA tidak bekerja sendiri. Mereka melibatkan keuchik, ulama, tokoh adat, dan relawan lokal untuk memastikan bantuan tepat sasaran dan tidak memicu konflik horizontal.

Salah satu kisah keberhasilan program reintegrasi ini datang dari Nasruddin, mantan kombatan Wilayah IV Pidie yang dikenal dengan nama sandi “Nyak Dhin Gajah.

BACA JUGA :  Aksi Unjuk Rasa di Stikes BBM Majene Berujung Pengrusakan Bendera HMI, Ketua Kohati Mamasa Geram

Pasukan keamanan menangkap Nasruddin saat konflik masih berlangsung. Ia dipenjara selama tiga tahun di Lapas Benteng Sigli. Namun, ia tidak menaruh dendam.

Selama di penjara, Nasruddin menjadi juru masak bagi para tahanan. Ia memilih menjalani peran kecil namun berarti. Ia tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kebencian.

Tsunami 2004 menghancurkan lapas tempat ia ditahan. Ia kemudian dipindahkan ke Rutan Kota Bakti. Tepat pada malam peringatan damai, 15 Agustus 2005, ia dijemput oleh IOM dan dipulangkan.

Nasruddin kini hidup sebagai warga biasa. Ia tidak lagi dikenal sebagai kombatan, tapi sebagai saksi hidup damai yang berani memaafkan dan membangun ulang kehidupannya.

Kisah Nyak Dhin menjadi bukti bahwa damai bisa tumbuh jika negara hadir dan mendampingi. BRA mewujudkan kehadiran itu secara nyata melalui berbagai programnya.

BRA mengembangkan basis data penerima manfaat berbasis desa. Mereka menyusun program secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat akar rumput.

BRA juga melatih para janda dan anak korban konflik agar bisa mandiri secara ekonomi. Mereka belajar menjahit, mengelola usaha mikro, serta berdagang secara digital.

BRA menggandeng sekolah dan pesantren untuk melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak korban konflik. Guru, psikolog, dan tokoh agama terlibat dalam proses ini.

Mualem dan Dek Fad ikut mendukung penuh BRA. Mereka menjadikan BRA sebagai bagian dari rencana pembangunan daerah. Program BRA masuk dalam RPJM Aceh agar terus berkelanjutan.

BACA JUGA :  Karena JAM-PIDSUS Kencang Berantas KORUPTOR dilaporkan Ke KPK : JAGA MARWAH Gelar Halalbihalal Bertajuk Aksi Demonstrasi

BRA juga mendorong kabupaten/kota membentuk unit reintegrasi sendiri. Pemerintah Aceh menyokong inisiatif ini dengan dana dan pendampingan teknis.

MoU Helsinki memang belum sepenuhnya terlaksana. Beberapa poin seperti bendera Aceh, pengelolaan sumber daya alam, dan pengakuan hukum adat masih menjadi perdebatan.

Namun, ruang dialog tetap terbuka. Baik Pemerintah Aceh maupun Jakarta menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan semua isu secara damai dan demokratis.

Masyarakat Aceh saat ini merasakan stabilitas. Mereka tidak lagi dihantui rasa takut. Namun, mereka juga berharap agar keadilan ekonomi dan sosial lebih merata.

Pemerintah harus memastikan bahwa damai tidak hanya berarti absen dari konflik, tetapi juga kehadiran pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan.

Perjalanan dua dekade damai ini tidak boleh berhenti. Kita semua harus menjaga dan melanjutkan apa yang sudah dibangun oleh para pendahulu.

BRA, Mualem, dan Dek Fad telah membuka jalan. Kini, giliran rakyat Aceh untuk meneruskan langkah itu. Generasi baru harus mengambil peran dan memastikan damai tetap hidup.

Aceh sudah membuktikan bahwa luka bisa sembuh [Sejarah]. Perang bisa berakhir. Yang tersisa adalah kemauan untuk menjaga kemajemukan.


Berkontribusi dalam artikel adalah Rifqi


BACA JUGA: Perjuangan Cut Nyak Dien Ratu Aceh, Prof Bagus Muljadi : Manfaat Literasi